KONTAN.CO.ID - Sering kali kita melihat orang-orang di sekitar kita yang hidupnya tampak mapan dan stabil. Mereka memiliki pekerjaan yang layak, rumah yang nyaman, dan penghasilan yang memadai.
Namun, meski semua kebutuhan dasar sudah terpenuhi, pergerakan mereka menuju kemajuan yang lebih besar, baik dari segi karier, keuangan, maupun kualitas hidup, terasa lambat, bahkan stagnan.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Dikutip dari situs edukasi trading, New Trader U, ternyata ada sepuluh pola perilaku umum yang sering kali menjebak kalangan menengah, membuat mereka sulit untuk melangkah lebih jauh dan meraih potensi maksimal dalam hidup.
Baca Juga: Dunia Ramai-ramai Mengutuk dan Mengecam Serangan Israel di Qatar
Mengenali pola-pola ini bisa menjadi langkah awal yang penting untuk memulai perubahan.
1. Hidup dari Gaji ke Gaji Meski Penghasilan Cukup
Meskipun mendapat penghasilan yang lumayan, mereka cenderung terjebak dalam siklus "inflasi gaya hidup." Setiap kali gaji naik, pengeluaran juga ikut membengkak, seolah-olah pengeluaran harus selalu setara dengan pendapatan.
Uang yang seharusnya bisa menjadi modal untuk menabung atau berinvestasi justru habis untuk membeli barang-barang konsumtif yang nilainya terus menurun.
Ini adalah pola pikir yang menjebak karena tidak ada sisa modal yang bisa digunakan untuk membangun kekayaan di masa depan.
2. Menghindari Risiko yang Sudah Diperhitungkan
Rasa takut terhadap kegagalan menjadi alasan utama untuk tidak mengambil risiko. Mereka menghindari peluang-peluang yang menantang, seperti berinvestasi di pasar saham atau memulai bisnis sampingan, karena risiko kerugian yang mungkin terjadi.
Pola pikir ini membuat mereka tetap berada di zona aman, tetapi juga membuat mereka kehilangan kesempatan besar untuk meraih keuntungan yang jauh lebih besar. Alih-alih mengelola risiko, mereka justru menghindarinya secara total.
3. Mendahulukan Konsumsi daripada Membangun Aset
Prioritas pengeluaran mereka lebih banyak diarahkan pada hal-hal yang bersifat konsumtif dan cepat habis, misalnya gadget terbaru, mobil mewah, atau liburan yang mahal.
Mereka membeli barang-barang yang memberikan kepuasan instan, tetapi tidak menghasilkan nilai tambah dari waktu ke waktu.
Sebaliknya, mereka enggan mengalokasikan dana untuk membangun aset produktif seperti properti, portofolio investasi, atau bisnis, yang seiring waktu bisa menjadi sumber pendapatan pasif.
Baca Juga: Dolar AS Stabil Jelang Data Inflasi Rabu (10/9), Pasar Tunggu Keputusan The Fed
4. Berhenti Belajar dan Mengembangkan Keterampilan Baru
Mereka merasa sudah cukup dengan ilmu dan keterampilan yang dimiliki saat ini. Di tengah dunia yang terus berubah dengan cepat, terutama dengan kemajuan teknologi, sikap ini sangat berbahaya.
Saat orang lain terus belajar dan meng-upgrade diri, mereka berhenti berkembang. Akibatnya, mereka menjadi kurang relevan di pasar kerja dan kesulitan untuk mendapatkan promosi atau peluang karier yang lebih baik.
5. Pola Pikir Kekurangan (Scarcity Mindset) yang Menjebak
Mereka percaya bahwa sumber daya dan peluang di dunia ini sangat terbatas. Pola pikir ini membuat mereka fokus pada apa yang tidak mereka miliki dan melihat kesuksesan orang lain sebagai ancaman. Alih-alih terinspirasi, mereka justru merasa iri.
Pola pikir ini membatasi mereka untuk melihat peluang-peluang baru dan kolaborasi, karena mereka selalu merasa harus bersaing dalam "permainan zero-sum."
6. Memilih Kenyamanan dan Rutinitas daripada Pertumbuhan
Prioritas utama mereka adalah keamanan dan kenyamanan psikologis. Mereka merasa aman dengan rutinitas harian yang sudah ada dan enggan mencoba hal-hal baru atau keluar dari zona nyaman.
Padahal, pertumbuhan diri, baik dalam karier maupun personal, sering kali terjadi saat kita menghadapi tantangan dan melangkah ke wilayah yang belum pernah kita jelajahi. Pola ini membuat mereka stagnan di tempat.
7. Membandingkan Diri dengan Rekan, Bukan dengan Sosok Sukses
Mereka cenderung mengukur kemajuan hidupnya dengan melihat orang-orang di sekitarnya yang berada di tahap yang sama.
Membandingkan pencapaian diri dengan teman sebaya mungkin terasa nyaman, tetapi ini menciptakan standar yang rendah.
Seharusnya, mereka mencari figur inspiratif atau mentor yang sudah berhasil mencapai tujuan mereka, lalu meniru dan mempelajari strategi mereka.
8. Sering Mencari Alasan daripada Mengambil Tanggung Jawab
Saat menghadapi kegagalan atau kesulitan, mereka lebih sering menyalahkan faktor-faktor eksternal seperti kondisi ekonomi, atasan yang tidak adil, atau kurangnya kesempatan.
Pola ini memosisikan diri mereka sebagai korban dan membuat mereka kehilangan kekuatan untuk mengontrol hidup mereka sendiri.
Alih-alih mencari solusi, mereka justru terjebak dalam lingkaran keluhan yang tidak produktif.
Tonton: Siapa Menpora Pengganti Dito Ariotedjo: Puteri Komarudin, Raffi Ahmad, atau Taufik Hidayat?
9. Tidak Memiliki Visi dan Tujuan Jangka Panjang yang Jelas
Mereka mungkin memiliki keinginan samar-samar untuk menjadi lebih baik, tetapi tidak punya tujuan yang konkret dengan batasan waktu yang jelas.
Akibatnya, setiap keputusan yang diambil sering kali hanya reaktif, bukan bagian dari sebuah strategi besar.
Tanpa tujuan yang jelas, setiap langkah yang diambil tidak akan mengarah ke arah yang spesifik.
10. Bergaul dengan Sesama Pencari Kenyamanan
Lingkaran sosial mereka cenderung terdiri dari orang-orang yang memiliki pola pikir serupa: nyaman, tidak suka risiko, dan puas dengan kondisi saat ini.
Lingkungan seperti ini bisa menjadi penguat bagi ambisi yang terbatas.
Mereka tidak mencari hubungan dengan orang-orang yang bisa menantang cara berpikir mereka, menginspirasi, atau membuka peluang baru. Padahal, sering kali kita menjadi rata-rata dari lima orang terdekat kita.
Selanjutnya: Kurs Transaksi BI Hari Rabu (10/9), Intip Nilai Tukar Rupiah Terhadap Mata Uang Dunia
Menarik Dibaca: iPhone 17 Rilis, Intip Bocoran Spesifikasi & Teknologinya Lewat Informasi Berikut
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News