PROPERTI -JAKARTA. Rumah adalah kebutuhan primer bagi manusia dan harus dipenuhi. Karena itu pula, manusia harus memiliki rumah untuk tempat tinggal. Seiring dengan besarnya kebutuhan manusia akan rumah, tak heran, bisnis properti pun kian subur. Tak terkecuali di Indonesia.
Tentu, bukan tanpa alasan, bisnis properti semakin menjamur di Tanah Air. Maklum, jadi pengembang properti alias developer ini bisa memberikan keuntungan yang menggiurkan, berkisar antara 25% hingga 35%. Modal usaha yang harus dikucurkan pun tak melulu harus merogoh kocek dalam. Dengan dana terbatas, siapa pun bisa terjun ke bisnis properti.
Faktanya, bisnis properti bukan hanya dilakukan oleh para developer besar yang membangun puluhan unit, bahkan ratusan unit rumah, dalam satu lokasi proyek perumahan. Bisnis properti juga banyak dijalankan oleh para pengembang yang skala modal dan usahanya terbilang kecil.
Simak saja penuturan Damar Wicaksono, pengembang perumahan dengan bendera usaha PT Bhumi Artomoro. Menurut Damar, untuk memulai bisnis properti skala kecil, bisa dilakukan dengan modal yang tidak terbilang besar. "Anda bisa siapkan dana dari sekitar Rp 500 juta hingga Rp 2 miliar," kata dia.
Dengan modal sejumlah itu, lanjut Damar, pengembang bisa membangun rumah tapak dari 1 unit hingga 5 unit. Bahkan, Anda bisa menekan modal tersebut, jika menjalin kerjasama dengan kolega bisnis yang memiliki lahan tanah untuk membangun unit properti. "Pemilik lahan bisa dilibatkan dalam proyek, dengan sistem bagi hasil," imbuh Damar.
Baca Juga: Kiat Berinvestasi di Properti Agar Tidak Merugi
Menurut Damar, hampir semua pelaku bisnis properti sekarang ini menjalankan kerjasama atau setidaknya pernah menjalin bisnis properti dengan pemilik lahan. Kecuali, hal itu dilakukan oleh para pengembang besar yang memiliki modal jumbo dan land bank (aset tanah) luas. Dia mencontohkan pengembang perumahan Ciputra Group.
Namun begitu, ada sejumlah hal yang perlu Anda perhatikan jika berbisnis properti menerapkan pola kerjasama dengan pemilik lahan. Di antaranya adalah pelaksanaan kerjasama dengan menerapkan prinsip proporsional. Dalam hal ini, siapa yang akan menanggung risiko paling besar, maka pihak itulah yang mendapatkan bagian paling banyak.
Kendati, pada kenyataannya, pihak developer yang akan menanggung risiko lebih besar. Sebab, ya itu tadi, pihak developer mengerjakan proyek properti di atas tanah milik orang lain; bukan pada tanah miliknya sendiri. Sekalipun pemilik lahan adalah mitra bisnis developer.