5 Kebiasaan Hemat yang Terlihat Cerdas, tapi Justru Merugikan Keuangan Anda

Jumat, 01 Agustus 2025 | 16:45 WIB   Penulis: Tiyas Septiana
5 Kebiasaan Hemat yang Terlihat Cerdas, tapi Justru Merugikan Keuangan Anda

ILUSTRASI. 5 Kebiasaan Hemat yang Terlihat Cerdas, tapi Justru Merugikan Keuangan Anda. KONTAN/Cheppy A. Muchlis


KONTAN.CO.ID -  Anda rela menempuh perjalanan tiga jam ke empat toko demi menghemat Rp180.000, padahal bensin yang Anda habiskan bisa mencapai Rp200.000.

Terdengar familiar? Banyak dari kita pernah melakukannya—mengejar penghematan kecil sembari mengabaikan gambaran finansial yang lebih besar.

Hal ini terjadi karena otak manusia kerap kesulitan menempatkan uang dalam perspektif yang tepat. Kita bisa menghabiskan 20 menit membandingkan harga barang senilai Rp50.000, namun mengabaikan riset mendalam saat membeli mobil seharga Rp500 juta.

Baca Juga: Laba Bersih Bank UOB Indonesia Melonjak 168% pada Semester I-2025

Bersikap hemat tentu bukan hal buruk. Namun, beberapa kebiasaan hemat justru secara diam-diam menguras isi dompet Anda. Kebiasaan ini sering kali memberikan perasaan puas karena merasa telah berhemat, padahal kenyataannya Anda justru rugi.

Sensasi menyenangkan dari menemukan “penawaran bagus” bisa membuat ketagihan, dan Anda merasa unggul secara finansial padahal sebenarnya sedang merugi. Mari simak lima kebiasaan hemat yang terlihat bijak tapi bisa merusak kesehatan keuangan Anda secara serius, dirangkum dari New Trader U.

1. Maraton Belanja ke Banyak Toko demi Diskon Kecil

Anda sudah tahu polanya: periksa aplikasi tiga supermarket, isi bensin di SPBU yang jauh karena sedikit lebih murah, lalu kunjungi empat toko untuk memaksimalkan kupon.

Kegiatan ini terasa produktif dan cerdas—Anda merasa sedang bekerja keras demi menghemat uang. Setiap struk menunjukkan penghematan, dan itu memuaskan.

Namun, realitasnya berbeda: jika Anda menghabiskan dua jam dan Rp50.000 untuk bensin demi menghemat Rp40.000, Anda sebenarnya merugi Rp10.000 plus kehilangan waktu berharga.

Banyak orang sering kali mengabaikan biaya tersembunyi seperti ini. Pendekatan yang lebih bijak adalah membuat aturan seperti “jangan habiskan lebih dari 15 menit untuk menghemat Rp100.000” dan fokus belanja strategis di satu toko utama setiap minggu.

2. Kecanduan Kupon Ekstrem dan Barang “Gratis”

Kupon ekstrem tampak luar biasa di televisi—orang bisa keluar toko membawa troli penuh barang dan menghemat ratusan ribu rupiah. Sensasi mendapatkan sesuatu secara gratis sangat menggoda, dan Anda merasa seperti jenius finansial saat berhasil membeli 47 pasta gigi hanya dengan Rp30.000.

Namun kenyataannya: jika Anda membeli barang yang tidak dibutuhkan, meskipun diskonnya besar, itu tetap pemborosan.

Banyak “kupon hunter” akhirnya menimbun barang yang tak akan pernah dipakai, bahkan merusak hubungan karena kebiasaan menimbun, dan justru menghabiskan lebih banyak uang daripada jika hanya membeli sesuai kebutuhan.

Belum lagi waktu yang dikorbankan—beberapa orang menghabiskan lebih dari 20 jam seminggu hanya untuk aktivitas kupon. Studi juga menunjukkan bahwa belanja dalam jumlah besar cenderung membuat orang mengeluarkan lebih banyak uang ketimbang membeli sesuai kebutuhan.

Baca Juga: Saham SCMA Ditutup Menguat 14,59% Jumat (1/8), Nilai Transaksi Capai Rp 149 Miliar

3. Menunda Perawatan Demi Menghemat Saat Ini

Saat keuangan sedang ketat, mengganti oli mobil, memeriksa atap rumah, atau servis alat elektronik tampak bisa ditunda. Toh, semuanya masih berfungsi, bukan? Penundaan ini terasa seperti strategi penghematan yang cerdas.

Namun faktanya, menunda perawatan justru bisa menjadi bencana finansial. Biaya perbaikan bisa melonjak hingga 600%, dan perawatan tertunda sering kali menghabiskan dana 30 kali lebih besar daripada jika ditangani sejak awal.

Mesin mobil bisa rusak parah, atap bocor dan menyebabkan kerusakan air senilai puluhan juta, atau AC rusak saat musim panas terpanas. Contoh nyata bahkan datang dari universitas yang memilih merobohkan gedung karena biaya perbaikan terlalu besar setelah bertahun-tahun menunda perawatan.

Ahli keuangan menyarankan agar 2–6% dari pendapatan dialokasikan untuk perawatan preventif. Anggaplah ini sebagai “asuransi” terhadap bencana besar.

4. Jadi Pahlawan DIY Tanpa Keahlian yang Memadai

YouTube membuat segalanya tampak mudah. Biaya jasa yang mahal membuat banyak orang memilih untuk mengerjakan sendiri berbagai perbaikan. Ketika keran bocor atau mobil butuh servis, jalan pintas DIY (do-it-yourself) terlihat menguntungkan.

Namun tanpa keahlian, Anda justru berisiko merugi lebih besar. Kesalahan saat memperbaiki rumah bisa membuat Anda membayar lebih mahal daripada jika sejak awal memanggil profesional.

Anda juga harus membayar bahan, waktu, dan biaya tambahan untuk memperbaiki kesalahan. Bahkan mengganti oli mobil sendiri bisa jadi hemat beberapa puluh ribu, tapi menyita waktu satu jam, mengotori pakaian, dan membuat Anda repot membuang limbahnya.

Gunakan prinsip bijak: lakukan DIY hanya jika Anda punya pengalaman, risikonya tidak menyangkut keselamatan, dan biaya bahan tidak lebih dari tiga kali lipat biaya tenaga kerja.

Tonton: AS Ancam Jatuhkan Tarif 100 Persen ke China Lantaran Beli Minyak dari Rusia

5. Menahan Diri dari Semua Kenikmatan Kecil

Strategi “tidak ngopi, tidak jajan, tidak bersenang-senang” tampak disiplin dan bertanggung jawab. Setiap kopi Rp30.000 yang Anda lewati terasa seperti kemenangan, dan menghilangkan semua kenikmatan kecil tampak seperti jalan tercepat menuju sukses finansial.

Namun layaknya diet ekstrem, pendekatan ini sering kali berujung pada kegagalan total. Ketika Anda terlalu menekan diri dan hidup jadi tak menyenangkan, pelampiasannya bisa berupa belanja besar-besaran yang justru menghapus semua penghematan.

Bahkan banyak orang akhirnya menyerah dan melupakan tujuan keuangannya karena gaya hidup seperti ini terlalu menekan.

Para pakar keuangan menekankan bahwa Anda tidak akan menjadi kaya hanya dengan berhenti beli kopi—Anda jadi kaya karena membuat keputusan cerdas dalam pengeluaran besar seperti tempat tinggal dan transportasi.

Kuncinya adalah “bijak dalam hal besar, fleksibel dalam hal kecil”—kelola pengeluaran besar dengan bijak agar bisa menikmati hal-hal kecil tanpa rasa bersalah.

Selanjutnya: Bagaimana Cara Daftar Upacara 17 Agustus di Istana Negara? Berikut Syaratnya

Menarik Dibaca: 15 Tips Diet Tanpa Olahraga dan Tetap Makan Nasi untuk Menurunkan Berat Badan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tiyas Septiana

Video Terkait


Terbaru