KONTAN.CO.ID - Membangun kekayaan sebagai keluarga kelas menengah seharusnya sederhana: menghasilkan lebih banyak dari yang dibelanjakan, menyimpan sisanya, lalu berinvestasi dengan bijak.
Namun kenyataannya, banyak keluarga pekerja keras yang merasa jalan di tempat secara finansial. Meski memiliki penghasilan tetap dan kebiasaan hidup yang bertanggung jawab, tabungan mereka tak kunjung tumbuh.
Sering kali, penyebabnya justru berasal dari kebiasaan keuangan yang tampak masuk akal, tetapi diam-diam menggerus kekayaan.
Baca Juga: Pertumbuhan Premi Asuransi Umum Memburuk, Begini Penjelasan AAUI
Melasnir dari New Trader U, lima “perusak kekayaan diam-diam” ini begitu berbahaya karena tersamar dalam pilihan sehari-hari khas kelas menengah.
Mereka tidak menimbulkan kerugian drastis secara tiba-tiba, melainkan bekerja perlahan dan pasti, mengalihkan uang dari potensi pertumbuhan kekayaan.
1. Jerat Inflasi Gaya Hidup: Saat Penghasilan Naik, Tapi Kekayaan Mandek
Sarah mendapatkan promosi yang meningkatkan gajinya dari US$65.000 menjadi US$80.000. Dalam enam bulan, ia sudah mengendarai mobil baru, tinggal di apartemen lebih mewah, dan lebih sering makan di luar. Namun, jumlah tabungannya masih hampir sama seperti sebelum kenaikan gaji.
Ini adalah contoh dari inflasi gaya hidup—kecenderungan untuk meningkatkan pengeluaran seiring meningkatnya penghasilan. Yang membuatnya berbahaya adalah karena tampak seperti kemajuan. Padahal, ada peluang besar yang terlewat.
Ketika penghasilan naik, kita punya dua pilihan: mempertahankan gaya hidup saat ini dan menginvestasikan selisihnya, atau meningkatkan gaya hidup sesuai pendapatan baru. Pilihan kedua sering kali menyebabkan munculnya pengeluaran tetap baru yang menyulitkan akumulasi kekayaan.
Bayangkan seseorang menerima kenaikan gaji US$15.000 per tahun, tetapi langsung menaikkan pengeluarannya dalam jumlah yang sama. Alih-alih diinvestasikan, uang itu terkunci dalam biaya hidup baru. Dalam jangka panjang, biaya peluang yang hilang bisa sangat besar, terutama karena melewatkan pertumbuhan berbunga majemuk.
2. Terlalu Main Aman: Saat Menghindari Risiko Justru Menjadi Risiko
Banyak keluarga kelas menengah memilih strategi keuangan konservatif, seperti menyimpan uang di tabungan atau deposito. Meski terlihat aman, kebiasaan ini justru bisa menjadi perusak kekayaan yang tersembunyi karena daya beli yang terus tergerus inflasi.
Tabungan konvensional memang memberi rasa aman, tapi sering kali bunganya tak mampu menandingi laju inflasi. Akibatnya, nilai riil uang menyusut dari waktu ke waktu.
Tak hanya soal uang tunai. Banyak keluarga menganggap rumah utama sebagai investasi utama dan lebih fokus melunasi cicilan hipotek daripada mendiversifikasi investasi. Padahal, menjadikan rumah sebagai satu-satunya sumber kekayaan bisa menghambat pertumbuhan aset secara keseluruhan.
Karena takut risiko pasar, mereka justru menghindari investasi yang berpotensi memberikan imbal hasil jangka panjang yang lebih tinggi. Fokusnya hanya pada mencegah kerugian jangka pendek, tapi justru memastikan penurunan daya beli jangka panjang.
Baca Juga: Peminat SBR014 Rp 7,46 Triliun 30 Juli 2025, Cara Investasi SBR Agar Untung 6,35%
3. Utang Bunga Tinggi: Menguras Keuangan Sedikit Demi Sedikit
Kartu kredit dan pinjaman berbunga tinggi adalah salah satu perusak kekayaan paling berbahaya. Masalahnya bukan hanya pada utangnya, tetapi bunga yang terus-menerus dibayarkan tanpa memberi nilai tambah.
Bunga tinggi menjadi beban ganda. Selain merugikan secara finansial, utang ini sering mengganggu fokus untuk membangun kekayaan. Bunga majemuk yang seharusnya menguntungkan lewat investasi justru bekerja melawan Anda.
Contohnya bisa dilihat dari jebakan pembayaran minimum. Banyak keluarga tidak sadar berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melunasi utang dan berapa total bunga yang dibayarkan. Dalam waktu yang sama, mereka melewatkan peluang membangun aset.
Uang yang digunakan untuk membayar bunga utang sebenarnya bisa dialihkan untuk investasi pensiun atau dana darurat. Jika dihitung dalam jangka panjang, dampaknya bisa sangat besar.
4. Terjebak Kenyamanan: Pengeluaran Kecil yang Berdampak Besar
Gaya hidup modern menawarkan kenyamanan tak berujung dengan biaya yang tampaknya kecil.
Layanan antar makanan, streaming, kotak langganan, dan belanja impulsif bisa jadi penguras anggaran tanpa terasa. Meski kelihatan sepele, jika dikumpulkan bisa mencapai ratusan dolar setiap bulan.
Psikologi di balik belanja kenyamanan inilah yang berbahaya. Nilainya terlalu kecil untuk memicu pertimbangan matang, padahal dalam setahun bisa jadi beban besar.
Langganan berbayar adalah contoh jelas. Banyak keluarga tidak menyadari jumlah layanan yang mereka bayar, atau bahkan tidak memakainya secara aktif. Karena dibayar otomatis, pengeluarannya pun luput dari perhatian.
Padahal, uang tersebut bisa dialokasikan untuk investasi, dana darurat, atau pelunasan utang. Jika dikumpulkan selama bertahun-tahun, nilainya bisa sangat signifikan.
Tonton: Stargazer Cartenz Berubah Total
5. House Poor: Rumah Impian yang Menjadi Beban Finansial
Banyak keluarga tergoda untuk membeli rumah sebesar mungkin berdasarkan jumlah maksimum pinjaman yang disetujui bank.
Mereka memposisikan rumah sebagai pencapaian utama, bukan bagian dari strategi keuangan yang seimbang. Akibatnya, sebagian besar penghasilan habis untuk cicilan rumah, tanpa sisa untuk tujuan keuangan lainnya.
Menjadi “house poor” tidak hanya soal cicilan, tapi juga biaya lain seperti pajak, asuransi, perawatan, hingga perbaikan rumah. Semua itu jadi beban berkelanjutan yang menyempitkan ruang gerak keuangan.
Selain itu, uang yang ditanamkan dalam rumah sering kali bersifat tidak likuid, dan membatasi kemampuan untuk berinvestasi di instrumen lain yang lebih fleksibel dan potensial.
Strategi terbaik adalah membeli rumah yang benar-benar sesuai kemampuan, bukan hanya berdasarkan batas maksimal pinjaman, sehingga masih ada ruang untuk menabung dan berinvestasi.
Lima kebiasaan ini tampak seperti pilihan hidup wajar khas kelas menengah. Namun jika dibiarkan, bisa menjadi pembeda antara stabilitas finansial dan kesulitan jangka panjang.
Dengan mengenali pola-pola ini, Anda bisa mulai mengalihkan uang menuju hal-hal yang membangun kekayaan. Efek majemuk yang selama ini bekerja melawan bisa mulai bekerja mendukung, asal diarahkan dengan konsisten dan penuh kesadaran.
Selanjutnya: Daftar Pemain Arsenal yang Gunakan Nomor Punggung 14, Dari Henry Hingga Gyokeres
Menarik Dibaca: Update Tsunami di Jepang 2025 Imbas Gempa Rusia, 2 Juta Orang Diminta Mengungsi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News