Kenaikan Inflasi Mengintai, Reksadana Bisa Jadi Pilihan Investasi yang Menarik?

Kamis, 15 September 2022 | 18:55 WIB   Reporter: Tendi Mahadi
Kenaikan Inflasi Mengintai, Reksadana Bisa Jadi Pilihan Investasi yang Menarik?

ILUSTRASI. Ilustrasi foto Reksadana. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/15/09/2019


REKSADANA - JAKARTA. Pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM untuk jenis Pertalite, Solar, dan Pertamax. Sejumlah ekonom memperkirakan, kenaikan tersebut dapat memicu inflasi dan volatilitas di pasar modal. 

Bank Indonesia juga telah meningkatkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 25 bps (0,25%) menjadi 3,75%. Ini merupakan perubahan suku bunga acuan yang pertama kali sejak Februari 2021. Kenaikan suku bunga diambil untuk mengantisipasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi serta inflasi volatile foods.

Menurut Anggota Komite Audit dan Manajemen Risiko Asiantrust Asset Management Nicholas Hilman, jika Inflasi terus naik akan berdampak ke pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kehidupan sehari-hari kita semua. Dampak dari kenaikan tersebut akan dirasakan langsung oleh masyarakat dikarenakan harga-harga kebutuhan pokok akan terkerek naik.

Inflasi juga berpengaruh langsung ke pasar modal. Untuk mengantisipasi kenaikan inflasi, maka suku bunga dinaikkan oleh BI. Saat suku bunga naik, hal ini secara tidak langsung akan meningkatkan cost of funds untuk berbisnis dan pengajuan kredit. Pada akhirnya, pergerakan dan pergantian cuaca makroekonomi tersebut akan menimbulkan volatilitas harga aset-aset yang ada di pasar modal, seperti saham dan obligasi.

Baca Juga: Reksadana Saham Catat Kinerja Tertinggi Sepanjang Agustus

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mencari cara mempertahankan nilai uangnya agar tidak tergerus inflasi, salah satunya dengan berinvestasi pada reksadana. Namun masyarakat perlu bijak dan mencari portofolio investasi yang kokoh terhadap keadaan makro serta memilih Manajer Investasi yang terpercaya.

Ia berpendapat dibutuhkan strategi investasi yang memiliki fleksibilitas untuk melakukan perubahan kelas aset maupun sektor secara dinamis. 

"Kami di Asiantrust menerapkan portfolio construction yang sistematis dengan proses top down dan bottom up dalam merancang portofolio. Kami melihat kondisi makro seakan sedang berlayar searah dengan arah angin bertiup," kata dia dalam keterangannya, Kamis (15/9).

"Dalam waktu yang bersamaan, kami akan mencari instrumen dan sektor mana yang akan diuntungkan dari lingkungan makro ekonomi dan kita melihat saham atau obligasi yang akan kita masukan ke dalam portofolio. Jika arah angin berubah atau faktor fundamental sebuah sektor berubah, kami memiliki fleksibilitas untuk melakukan rotasi, misalnya dari obligasi jangka panjang ke saham blue chip," ujarnya.

Dalam penyusunan sebuah portofolio, Nicholas membeberkan ada proses sistematis yang pihaknya kerjakan untuk membangun portofolio yang resilient untuk mengoptimalkan return yang lebih stabil dengan risiko yang lebih terukur. 

"Kami awali dengan tolak ukur atau benchmark. Benchmarking adalah penetapan titik acuan untuk mengukur kinerja portofolio, yang dapat membantu membandingkan dan mengevaluasi alokasi aset dengan lebih baik. Disini kami mengevaluasi kelas aset seperti saham dan obligasi, lalu kami pikirkan tentang perbandingan kinerja portofolio seperti benchmark IHSG dan sebagainya lalu kami tentukan jangka waktunya," ungkap dia.

"Kedua, kami melakukan budgeting dari segi biaya dan pajak, maupun risiko. Tujuannya adalah untuk meminimalkan biaya-biaya dan pajak untuk memaksimalkan nilai portofolio dan menetapkan tingkat risiko yang sesuai berdasarkan tujuan. Ketiga, adalah proses investasi. Disini kami terus berorientasi kepada tujuan awal dan meninjau kinerja terhadap risiko yang ditentukan pada tahap awal," lanjutnya.

Baca Juga: Inilah 4 Cara Isi Saldo OVO via m-Banking BRI, BCA, BNI, sampai Mandiri

Dan terakhir adalah monitoring. Dia bilang penting sekali untuk melakukan peninjauan secara teratur untuk menilai apakah strategi investasi perlu dilakukan penyesuaian.

Dan untuk memberikan imbal hasil yang lebih stabil, pihaknya saat ini memiliki dua strategi investasi utama. 

"Kami sekarang mengelola dua reksadana campuran yang mempunyai fleksibilitas berinvestasi pada kelas aset saham, obligasi, maupun deposito. Yang tentunya dalam keadaan makro ekonomi seperti sekarang ini fleksibilitas sangat diperlukan," tuturnya.

Kedua strategi tersebut adalah, reksadana Asiantrust Balanced Fund dan Reksa Dana Asiantrust Amanah Syariah Fund. Strategi Balanced Fund menerapkan alokasi aset sebesar 65% pada obligasi dan 35% pada saham dengan target return 6-8% per tahun dengan volatilitas yang rendah.

"Ini sebuah strategi yield enhancement yang merupakan pilihan tepat untuk pengganti deposito bank, dimana sebagian besar dana diinvestasikan pada obligasi pemerintah dengan upside pasar saham. Sebagai titik perbandingan, secara rata-rata deposito perbankan memberikan imbal hasil 2-4%,” katanya.

Sementara Reksa Dana Asiantrust Amanah Syariah Fund adalah strategi Capital Appreciation ditujukan untuk menghasilkan keuntungan saham, namun dengan volatilitas yang lebih rendah melalui exposure yang seimbang antara saham dan obligasi. 

"Ini adalah strategi yang memiliki ciri-ciri mirip dengan Reksa Dana Asiantrust Balanced Fund, namun lebih agresif dengan menawarkan imbal hasil 8-12% per tahun. Strategi ini menerapkan alokasi aset sebesar 50% pada obligasi dan, 50% pada saham," bebernya.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi

Terbaru