E-MONEY - JAKARTA. Masih dengan wajah penuh keringat, Windiyani (25) mengajak rekan-rekannya untuk berburu makanan ke GBK GoFood Festival yang berapa persis di samping Stadium Gelora Bung Karno (GBK).
Ia membeli makanan khas Bandung yakni Seblak. Makanan yang berbahan dasar kerupuk dicampur dengan bakso, batagor, dan macaroni ini dibanderol seharga Rp 25.000.
Ia tampak membuka aplikasi GoJek lalu memilih menu Pay dan memindai QR Code milik Seblak Edun, penjual yang menjadi mitra GoPay di GoFood Festival. Ketika transaksi selesai, Ia senyum manis melihat layar ponsel pintarnya.
Baca Juga: OVO terbuka jalin kemitraan strategis dengan berbagai merchant termasuk Alfamart
Tak heran, Ia mendapatkan potong harga atau cash back seniali Rp 12.500 dari GoPay. Memang GoPay tengah mengelar program PayDay yakni potongan harga hingga 50% di setiap mitra GoPay.
Windy mengaku semenjak adanya uang elektronik, Ia mengalami perubahan dalam gaya hidup. Mulai dari pemilihan jasa layanan penunjang hidup hingga lebih konsumtif.
Pegawai swasta ini menyatakan sebelum GoJek beserta GoPay naik daun, Ia hampir tidak pernah naik ojek karena tarif yang diterapkan mahal dan jarak lokasi yang hendak ditempuh terbilang dekat sehingga Ia memilih untuk jalan kaki.
Baca Juga: KPPU akan teliti dugaan praktik perdagangan tidak sehat e-wallet di minimarket
Selain itu, sejak adanya GoPay dan kawan-kawan, Ia tidak lagi ke pasar tradisional, tergiur potongan harga, Ia memilih super market. Begitu pun urusan perut, Ia mengaku lebih sering memesan makanan lewat aplikasi ojek online.
Alasannya terdapat banyak potongan harga sehingga lebih murah saat di pesan antar dibandingkan datang ke toko. Apalagi Ia tidak perlu kelelahan atau terkena sinar matahari di siang bolong.
“Non Tunai atau cashless banget sekarang, ke mana-mana jarang banget pegang tunai. Jadi barang-barang yang belinya pake cash bakal mikir dua kali buat belinya. Saat ini hampir seluruh transaksi saya menggunakan non tunai. Belanja di ecommerce saya pakai GoPay,ke Farmer Market pakai OVO. Setiap bulan rata-rata saya menaruh uang sebanyak Rp 700.000 hingga Rp 1,5 juta di uang elektorik,” jelasnya.
Baca Juga: Bank Mandiri targetkan transaksi e-money tembus Rp 13 triliun
Awalnya Windy sempat terjebak dan merasa boros menggunakan uang elektronik. Beberapa waktu terakhir Ia memutuskan untuk mencatat pengeluarannya dengan baik.
Ia mengaku transaksi digital lebih mudah untuk dilacak dengan baik dibanding tunai. Ia pun bisa mengetahui ke mana saja uangnya bergulir dan dengan gampang Ia mengatur pengeluarannya.
Perencana keuangan Zelts Consulting Ahmad Gozali mengamini terjadinya perubahan perilaku konsumsi masyarakat dengan kehadiran uang elektronik.
Ia bilang perubahan perilaku pasti akan terjadi. Biasanya terdapat setidaknya terdapat tiga faktor pendorong masyarakat agar makin boros atau malah makin hemat.
Baca Juga: WeChat dan Alipay bakal legal masuk Indonesia di 2020, seperti apa layanannya?
Pertama, faktor potongan harga atau promo. Ia melihat banyaknya penawaran promo dari dompet digital membuat konsumen terdorong untuk membeli lebih banyak walaupun tidak terlalu dibutuhkan. Namun faktor ini bermata dua, yang justru bisa membuat pengguna lebih hemat bila bijak menggunakannya.
Ia bila konsumen kerap menggunakan uang digital untuk biaya transportasi atau makanan yang sering kali mendapatkan promo. Bila hal ini rutin dipakai maka pengeluaran pun menjadi lebih kecil. Sehingga dompet masih akan tetap gemuk di akhir bulan tertolong oleh potongan harga.
Ahmad melihat faktor ini memang lebih banyak dirasakan di kota besar saja. Lantaran ketersediaan merchant merchant yang bekerjasama dengan uang elektronik lebih banyak berada di kota besar.
Baca Juga: Group Salim bakal luncurkan uang digital, ini kata GoPay
Kedua, faktor non-tunai atau cashless. Ia mengatakan belanja dengan menggunakan uang tunai membuat masyarakat lebih sadar karena ada uang fisik yang dipegang. Lalu uang tersebut diserahkan kepada penjual.
“Sedangkan dengan metode cashless pengeluaran menjadi lebih tidak terasa. Belanja uang tunai Rp 500.000 terasa lebih berat dibandingkan belanja Rp 100.000 lantaran uang yang diserahkan terasa lebih banyak. Namun dengan transaksi cashless, belanja Rp 5.000 atau Rp 500.000 pun sama saja prosesnya, tinggal satu kali klik atau konfirmasi,” tutur Ahmad.
Kendati demikian, Ia melihat ada fenomena pada awal-awal penggunaan cashless hal ini membuat konsumen menjadi kurang hati-hati dan cenderung boros. Tapi faktor ini hanya sementara saja sampai sudah terbiasa melihat angka di layar bukan uang fisik di tangan.
Baca Juga: Go-Jek dan Go-Pay jalin kerjasama dengan Muslimat NU dorong economy digital
Ia melihat tidak masalah bagi pengguna menggunakan lebih dari satu layanan uang elektronik. Sebab boros atau tidaknya tidak tergantung dari jumlah uang digital yang dimiliki. Namun kemampuan manfaatkan promosi yang ada.
“Caranya rajin-rajin saja cek saldo dan pantau histori transaksi, biar belanja tidak kebablasan. Boleh juga bagi dompet tadi per pos pengeluaran. Ada yang khusus buat transport, ada yang buat jajan, ada yang buat belanja,” pungkas Ahmad.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News