Studi luar negeri: Kuasai bahasa jadi modal utama

Rabu, 11 November 2015 | 14:36 WIB   Reporter: Sri Sayekti
Studi luar negeri: Kuasai bahasa jadi modal utama


Tidak salah jika dikatakan bahwa bahasa adalah jendela dunia. Bayangkan kalau kita berada di suatu tempat, yang orang-orangnya berkomunikasi menggunakan bahasa yang asing bagi kita. Bagaimana kita bisa terhubung dengan masyarakat setempat?  

Itu sebabnya, beberapa dekade belakangan banyak orangtua yang getol menyekolahkan anaknya di sekolah dua bahasa (bilingual) atau mendorong anaknya ikut kursus bahasa asing. Tidak salah, karena penguasaan bahasa asing memang diperlukan, kalau Anda bercita-cita menyekolahkan anak di manca negara.

Bahasa asing ini bukan cuma Bahasa Inggris lo. Memang Bahasa Inggris adalah bahasa yang paling banyak dipakai di planet ini, tapi bahasa negara setempat juga penting dikuasai.

Tengok saja pengalaman Irwan Endrayanto saat sekolah di Belanda. Irwan kuliah matematika di Universiteit Twente, Enschede, Belanda. Tentu saja, Irwan telah memenuhi spesifikasi untuk Bahasa Inggris sesuai syarat untuk studi S2 di kampusnya. Tapi Bahasa Belanda? “Saya samasekali enggak ngerti,” katanya.

Sebenarnya, ujar Irwan, penguasaan bahasa lokal penting untuk kehidupan sehari-hari. Pengantar kuliah di kampus adalah Bahasa Inggris, tapi toh kita juga tetap harus menjalani hidup berdampingan dengan masyarakat lokal.

Untunglah Irwan banyak didampingi seniornya yang lebih dulu studi di Enschede. “Selanjutnya saya belajar sendiri, dari pasar, menonton televisi lokal, dan sebagainya,” kata Irwan yang lantas mengambil kursus Bahasa Belanda di Regional Opleiding Centrum Universiteit Twente saat kuliah S3.

Nah, salah satu syarat umum pendaftaran kuliah di luar negeri adalah kemampuan berbahasa Inggris dengan hasil tes International English Language Testing System (IELTS). Perguruan tinggi di Eropa lebih mengacu pada IELTS daripada Test Of  English as a Foreign Language (TOEFL). Sebaliknya, kebanyakan perguruan tinggi di Amerika dan Kanada masih memakai TOEFL.

Standar nilainya berbeda untuk tiap jenjang studi. Misalnya saja untuk program diploma 5,5 –6,0 (IELTS) dan 46–60 (TOEFL), jenjang Bachelor 6,0–6,5 (IELTS) dan 60–70 (TOEFL).  Jenjang tertinggi Master/PhD 6,5–7,0 (IELTS) dan 79–100 (TOEFL).

Jika samasekali belum pernah mengikuti tes ini, disarankan mengikuti English Placement Test.  Menurut Ayudhiarini Hapsari, Business Development Manager Edlink+ConneX, “Tujuannya untuk mengetahui estimasi nilai IELTS saat ini.” Jika nilainya di bawah syarat, maka calon siswa harus mengikuti IELTS Preparation dulu sebelum tes yang sebenarnya. Maklum, biaya tes di British Council lumayan mahal, yakni Rp 2,7 juta untuk IELTS dan US$ 160 (TOEFL).

Imam Santosa, Manajer Alfalink Semarang, bilang kalau tes IELTS sekarang sedikit berbeda. “Istilahnya level UK VI atau UK Visas and Immigration. Bentuk tes sama, tetapi direkam dan biayanya jadi lebih mahal yakni Rp 4 juta,” ujarnya. Tes ini baru ada di Jakarta dan Denpasar. “Jadi bagi siswa daerah tambah biaya lagi untuk tes ini,”  imbuh Imam. Persyaratan ini terutama bagi perguruan tinggi di Inggris dan negara Eropa lain.  

Pelaksanaan tes bahasa Inggris ini disarankan setidaknya tiga bulan sebelum masa studi dimulai. Jadi, hasil tes TOEFL atau IELTS tidak harus dilampirkan saat pengiriman berkas pendaftaran, tetapi bisa disusulkan.


Belajar saat magang
Bahasa Inggris adalah modal utama. Lantas, bagaimana dengan kampus di negara yang masyarakatnya punya bahasa lain, seperti Belanda tadi?

Perguruan tinggi di Belanda tidak mensyaratkan kemampuan berbahasa Belanda. Bahasa pengantar kuliah adalah bahasa Inggris. Meski demikian Tessa Ayuningtyas tetap les privat Bahasa Belanda saat hendak kuliah di Belanda. “Setidaknya saya bisa ngomong Bahasa Belanda sekedar untuk bertelepon, belanja dan nanti jika magang kerja,” jelas Tessa.

Kemampuan Tessa berbahasa Belanda benar-benar diuji saat ia dua kali magang kerja di perusahaan setempat. Tessa yang kuliah di Haagse Hogeschool, Den Haag pertama kali magang di Heineken selama enam bulan. “Kalau rapat, saya sampai bawa alat perekam dan saya terjemahkan di rumah,” jelas Tessa.

Saat melanjutkan S2 di University of Helsinki, Finlandia Tessa juga menemui bahasa setempat yakni bahasa Swedia dan bahasa Suomi. “Tapi saya tidak belajar, selain memang susah, hanya dipakai oleh lima juta orang,” jelas Tessa. Menurut Tessa di Finlandia setiap papan di area publik biasa ditulis dengan dua bahasa yakni bahasa Swedia dan Suomi.


Bahasa Jerman
Adapun perguruan tinggi di Jerman mensyaratkan calon mahasiswa mengikuti tes DAF, yakni Test fur Deutsch Als Fremdsprache.

TestDAF adalah ujian bahasa untuk tingkat lanjutan. Sebelum mengikuti tes ini peserta setidaknya sudah belajar Bahasa Jerman sebanyak 700–1000 jam.  TestDAF menyetarakan kemampuan berbahasa Jerman peserta  di tingkat kompetensi B2 sampai C1 sesuai Kesepakatan Uni Eropa mengenai Jenjang Kompetensi Bahasa. Jika Anda lulus testDAF dalam keempat bagian ujian dengan nilai TestDaf Niveaustufe 4, maka ijazahnya berlaku sebagai bukti penguasaan bahasa untuk dapat mengikuti hampir semua bidang studi dan jurusan di perguruan tinggi di Jerman.

Sebelum mendalami ilmu yang Anda minati di Jerman, kalau belum mengantungi ijazah tadi, Anda harus belajar Bahasa Jerman. Salah satunya di Institut fur Komunikation (IKK), di kota Dusseldorf, Jerman. Program bahasa di sini seperti halnya kuliah program Diploma yakni intensif kuliah dari Senin–Jumat mulai jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Perguruan tinggi di Jerman kebanyakan menggunakan pengantar Bahasa Jerman, sehingga para mahasiswanya memang harus menguasai bahasa itu.

Di Jakarta juga ada TestDAF yang diselenggarakan oleh Lembaga Bahasa Internasional  Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Goethe Institut Indonesien–Jakarta dan Studienkolleg Indonesia, German Centre Building, BSD City Tangerang.                                    

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi

Terbaru