Mengapa Kalangan Berpendidikan Ikut Jadi Korban Investasi Bodong?

Sabtu, 26 Maret 2022 | 16:00 WIB   Reporter: Hikma Dirgantara
Mengapa Kalangan Berpendidikan Ikut Jadi Korban Investasi Bodong?


INVESTASI BODONG - JAKARTA. Jutaan orang telah menjadi korban, lalu triliunan uang juga telah raib, namun investasi bodong seolah tidak lekang oleh waktu. Dari waktu ke waktu, pemberitaan mengenai investasi bodong masih tetap saja ramai. Membasmi investasi bodong memang bukan perkara mudah. 

Seiring dengan perkembangan jaman, para penyedia layanan investasi bodong juga ikut berkembang dengan mengeksploitasi celah yang ada dan menghadirkan skema penipuan yang baru. 

Jika pada medio 90-an skema Multi Level Marketing (MLM) jadi cara paling ampuh menggasak dana dari masyarakat. Selain itu, metode meminta pendanaan untuk modal sebuah perusahaan dengan iming-iming bunga menggiurkan juga jadi salah satu modus paling populer, bahkan hingga saat ini.

Memasuki milenium baru, skema penitipan uang ke dalam simpanan emas atau properti jadi cara lain para penipu ini. Kini, dengan berkembangnya teknologi, modus investasi bodong kian beragam dan umumnya memanfaatkan platform digital. 

Baca Juga: Polisi Telah Periksa 54 Orang Terkait Kasus Quotex Doni Salmanan

Baru-baru ini, jagat investasi dihebohkan dengan kehadiran jasa sewa atau jual-beli robot trading yang diklaim bisa memberikan keuntungan tanpa sang investor harus bertransaksi. 

Masalahnya, robot trading memang sebuah alat bantu yang nyata dan sudah kerap digunakan. Hanya saja, robot trading yang asli tetap mengharuskan investor mengatur parameter dan mengambil keputusan investasi. 

Melihat celah tersebut, para penipu coba memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat dan mengeruk keuntungan. Tengok saja, salah satu platform penyedia robot trading, Robot Trading Viral Blast merugikan sekitar 12.000 anggotanya dengan nilai kerugian yang ditaksir mencapai Rp 1,2 triliun. 

Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Tongam L Tobing mengakui, membendung praktik investasi bodong bukanlah perkara yang mudah. Apalagi, dengan transformasi digital saat ini yang semakin memudahkan para pelaku menawarkan investasi ilegal lewat platform media sosial maupun website.

Di saat yang bersamaan, akses masyarakat ke internet kini semakin terbuka lebar sehingga peluang terpapar tawaran investasi ilegal juga semakin besar. Sayangnya, penetrasi internet ini belum diimbangi dengan tingkat literasi keuangan yang baik. Berdasarkan data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 38,03%.

Baca Juga: Kasus Binomo, Masa Penahanan Indra Kenz Diperpanjang 40 Hari

Tongam bilang, angka tersebut memang terus mengalami perbaikan dari tahun ke tahun. Namun tak dipungkiri, kurangnya edukasi masih jadi salah satu faktor yang menyebabkan banyak masyarakat terjerat investasi bodong. Bahkan berdasarkan data SWI, kerugian masyarakat akibat investasi ilegal telah mencapai Rp 117,5 triliun dalam 10 tahun terakhir.

“Masalah jadi lebih kompleks karena korban tidak hanya semata yang kurang edukasi, tapi ada juga kelompok korban yang sebenarnya sadar bahwa tawaran itu ilegal, tapi malah tetap ikutan, aji mumpung,” kata Tongam ketika dihubungi Kontan.co.id, Jumat (25/3).

Jika korban yang masih kurang teredukasi, ia menyebut kebanyakan tergoda lantaran ingin cepat kaya atau sebatas ikut-ikutan. Namun, di satu sisi, ada juga yang sudah tahu ilegal, tapi tetap masuk karena mengejar keuntungan. Umumnya, korban yang ini ada di investasi bodong yang bersifat ponzi atau money game dan umumnya berada di jajaran top line

Menurutnya, kelompok tersebut tahu, selama ada peserta baru atau dana yang disetor lebih besar, maka keuntungan yang diperoleh bisa lebih besar lagi. Dibarengi dengan rasa serakah dan berharap skema investasi bodong bisa terus berjalan, akhirnya mereka semakin terjerumus, bahkan mengajak masyarakat lain untuk ikutan. 

Editor: Tendi Mahadi

Terbaru