JAKARTA. Kabar kenaikan harga energi semakin sering menghampiri kita akhir-akhir ini. Juli dan awal September lalu, tarif listrik sudah naik. Kemudian disusul harga gas rumah tangga.
Celakanya, kenaikan tersebut bukan yang terakhir tahun ini. Pada awal November nanti, tarif listrik naik lagi. Belum cukup di situ, bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pun kemungkinan akan kian mahal seiring menipisnya anggaran pemerintah.
Jika Anda termasuk kalangan yang sensitif dengan inflasi, kabar-kabar itu jelas menyebalkan di telinga. Namun, apa daya? Mau tidak mau, Anda harus beradaptasi dengan biaya hidup yang kian mahal, jika tidak ingin menderita sakit "kanker" alias kantong kering.
Caranya tiada lain, yaitu memulai hidup hemat. Pasalnya, tidak semua orang senang mendengar kata "hemat". "Karena kata itu seolah identik dengan sengsara atau menderita," ujar Diana Sandjaja, perencana keuangan Tatadana Consulting. Berhemat, menurut Diana, lebih tepat disebut sistem belanja bijak (wise spender). "Atau, mengeluarkan uang sesuai kebutuhan," imbuh Rakhmi Permatasari dari Safir Senduk dan Rekan.
Kenyataan bahwa penghasilan atau uang ada batasnya, harus Anda sadari. Sedang keinginan manusiawi Anda tidak berbatas. Tanpa menyeimbangkan dua hal yang berlawanan itu, risiko "kebakaran dompet" sangat besar. Padahal, hidup kita bukan cuma hari ini. "Kuncinya adalah selalu merasa cukup," kata Pandji Harsanto, perencana keuangan independen.
Lantas, bagaimana memulai gaya hidup hemat? Mari menyimak nasihat para perencana keuangan berikut ini:
Ketahui batas diri
Langkah pertama hidup hemat, menurut Rakhmi, adalah mengetahui besar kebutuhan Anda, yaitu kebutuhan dasar. Berhati-hatilah, jangan sampai bias dengan "keinginan". Contohnya, terkait makanan. Prinsip utama adalah pemenuhan gizi keluarga. Dus, untuk kebutuhan protein, tak perlu membeli daging impor mahal jika telur dan ikan lokal sebenarnya sudah cukup. Perbanyak sayur-mayur dan buah lokal.
Tidak lupa, buatlah juga batas maksimal keinginan. Contoh, batas maksimal keinginan Anda untuk sepotong baju idaman adalah seharga Rp 500.000, enam bulan sekali. "Harus ada batas jelas untuk keinginan yang cenderung bersifat pemborosan," kata Rakhmi.
Bikin prioritas
Membuat perencanaan anggaran setiap bulan berisi beragam rencana pengeluaran, mulai dari pengeluaran rumahtangga rutin, investasi, cicilan utang, sosial, juga gaya hidup, akan memudahkan Anda membuat skala prioritas kebutuhan. Dengan mengetahui besar penghasilan Anda bulan ini, alokasi dana untuk berbagai pos pengeluaran bisa lebih terkendali. Tanpa perencanaan, percayalah, uang gaji Anda akan jauh lebih mudah amblas keluar tanpa kejelasan.
Lalu, mana di antara pos-pos pengeluaran tersebut yang bisa dihemat? Rakhmi menyarankan agar terlebih dulu mengeluarkan uang untuk kebutuhan sosial dan utang yang sudah ada. "Lalu, investasilah sebesar-besarnya," kata Rakhmi.
Sedang pengeluaran urusan perut, tetapkan sesuai batas kebutuhan dasar. "Jika uang sudah habis untuk investasi dan sosial, mau berlaku boros, kan, sudah enggak bisa," ujarnya.
Diana menambahkan, yang paling bisa dihemat adalah pos pengeluaran gaya hidup. Misalnya, mengurangi frekuensi nonton di bioskop, nongkrong di kafe, dan sebagainya. "Jangan pula tergoda menambah utang dengan membeli barang melalui sistem cicilan," tegas Rakhmi.
Siasati belanja rutin
Pada kebanyakan keluarga, pengeluaran kebutuhan rutin rumahtangga kerap terbanyak memakan anggaran, mulai dari belanjaan sehari-hari,bayar listrik, pulsa telepon, air, TV berbayar, bensin, dan sebagainya.
Pandji bilang, resep klasik untuk efisiensi pos rumahtangga ada tiga. Pertama, menurunkan frekuensinya. Contoh, jika saat ini setiap akhir pekan Anda ke mal dan mampir ke hipermarket, kurangi jadi dua minggu sekali atau sebulan sekali. "Belanja barang kelontong (groceries) tahan lama cukup sebulan sekali," kata Pandji.
Biasakan mencatat terlebih dulu barang yang akan dibeli untuk menghindari pembelian di luar kebutuhan. Sedang belanja sayur-mayur, buah, daging dan ikan, bisa seminggu sekali. "Coba tanam sendiri kebutuhan dapur umum, seperti cabai dan lengkuas," saran Rakhmi.
Untuk urusan listrik, kurangi frekuensi pemakaian pendingin udara atau AC. Biasakan mencabut steker listrik selesai dipakai. Jika memungkinkan, ganti lampu Anda dengan lampu hemat energi untuk penghematan jangka panjang.
Kedua, menurunkan kelas. Misal, ganti paket TV berbayar ke paket lebih murah, sesuai kebutuhan. Lalu, jika selama ini Anda terbiasa beli beras dan ikan di hipermarket, beralih saja ke toko grosir dan pasar tradisional yang lebih murah. "Harga beras di supermarket bisa Rp 15.000 per kg, sedang di pasar Rp 10.000 sudah bagus," imbuh Rakhmi.
Ketiga, menghapus jenis pengeluaran. Ganti menu sarapan dengan buah alih-alih makan roti oles selai dan cokelat. Lebih sehat dan lebih murah. Garasikan mobil Anda dan mulai beralih memanfaatkan transportasi publik, seperti KRL, untuk berangkat ke kantor. Bisa juga mencari tebengan alias tumpangan. Anda bisa memanfaatkan situs www.nebeng.com.
Manfaatkan diskon
Beberapa hipermarket atau supermarket kerap menawarkan diskon untuk kebutuhan rumahtangga di waktu tertentu. Manfaatkan itu untuk menyetok barang tahan lama yang terdiskon, seperti popok sekali pakai. Namun ingat, tak perlu kalap hingga menyetok berlebihan. Sedang untuk diskon barang fashion, seperti pakaian, kosmetik, sepatu, sandal, lebih baik Anda ingat lagi rumus kebutuhan dasar di depan.
Selalu cermati perbandingan harga barang. Tidak selamanya harga mencerminkan kualitas barang. Yang murah belum tentu berkualitas buruk. Barang private label yang biasanya lebih murah bisa menjadi alternatif.
Diana menambahkan, sejatinya aksi berhemat tidak melulu masalah anggaran. Menghemat pemakaian air, listrik, kertas, juga termasuk bagian dari frugal living. "Ajak partisipasi anggota keluarga," kata dia. Ingat selalu mantra, "Kalau bisa hemat, ngapain boros?" Selamat mempraktikkan!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News