Investasi Pasif VS Aktif, Mana yang Cocok untuk Investor Retail?

Rabu, 27 Juli 2022 | 15:54 WIB   Reporter: Tendi Mahadi
Investasi Pasif VS Aktif, Mana yang Cocok untuk Investor Retail?

ILUSTRASI. Reksadana.


INVESTASI - JAKARTA. Setiap investor akan selalu menginginkan hasil yang optimal dari investasi pasar modal yang mereka lakukan. Namun tujuan ini tentunya tidak akan tercapai jika tidak dikelola dengan tepat. 

Menurut Komite Investasi Asiantrust Asset Management, Julian Alexander Thio, salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar untuk mencapai hasil yang optimal dalam investasi adalah strategi investasi. 

Ia membeberkan bahwa secara umum terdapat dua strategi investasi dalam pengelolaan portofolio yaitu, strategi pengelolaan aktif dan pasif. Pengelolaan portofolio secara pasif adalah pengelolaan portofolio yang dilandasi dengan proses pembobotan suatu aset (saham, misalnya) sesuai dengan bobot aset tersebut dalam indeks acuan tertentu. Sementara pengelolaan aktif adalah strategi investasi yang proses pembobotan asetnya dilakukan secara aktif sehingga akan cukup berbeda dengan bobot aset tersebut di dalam indeks acuannya. 

"Untuk para investor pasif, mereka cenderung akan membeli Reksa Dana Indeks atau ETF yang mengikuti pergerakan indeks tertentu seperti IHSG atau S&P 500 untuk mencapai hasil investasi yang sesuai dengan return pasar," kata dia dalam keterangannya, Senin Rabu (27/7).

Baca Juga: IIF Bersama BNI Fasilitasi Pinjaman Sindikasi untuk Proyek Pelabuhan Gorontalo

"Di lain sisi tujuan dari investor aktif adalah untuk mencapai target return yang lebih tinggi dari return pasar," lanjutnya.

Menurutnya masing-masing strategi investasi memiliki kelebihan dan kekurangan namun semuanya akan kembali kepada tujuan investasi investor.

"Manfaat utama strategi investasi pasif adalah biaya perdagangan dan biaya pengelolaan portofolio yang cenderung lebih murah, seperti pada Exchange Traded Fund atau ETF (Reksa Dana yang diperdagangkan di bursa) misalnya, yang mana transaksi di dalam portfolio tersebut akan cenderung lebih sedikit dibandingkan Reksa Dana Saham yang dikelola secara aktif," katanya.

"Di sisi lain, strategi investasi aktif melibatkan manajer portofolio yang berperan aktif dalam mengelola dana, dan seringkali memiliki biaya perdagangan dan pengelolaan yang relatif lebih tinggi selain risiko serta volatilitas yang lebih tinggi dibanding indeks acuannya. Tentunya, strategi investasi aktif diharapkan dapat menghasilkan hasil yang lebih tinggi dari indeks acuannya," bebernya.

Singkatnya, investasi pasif adalah cara yang bagus untuk berinvestasi karena menawarkan akses untuk membangun portofolio yang terdiversifikasi dengan baik sesuai dengan pilihan pasar atau indeks tertentu seperti IHSG, S&P 500 atau indeks yang lain. Namun, ketika berbicara tentang pasar saham di Indonesia, kami berpikir bahwa strategi pasif mungkin tidak cukup baik untuk menghasilkan keuntungan jangka panjang yang diinginkan oleh investor.

Apabila melihat data historis di bawah, indeks S&P 500 memperoleh imbal hasil tahunan lebih kurang 8%-11% dalam 5-30 tahun terakhir secara konsisten. Akan tetapi, Indeks Harga Saham Gabungan hanya mendapatkan rata-rata imbal hasil tahunan yang malah cenderung menurun dari tahun ke tahun (rata-rata 11% dalam 30 tahun terakhir, tapi hanya rata-rata 3% dalam 5 tahun terakhir). 

"Oleh karena itu, kami pikir tepat untuk menerapkan strategi investasi aktif untuk menghasilkan return optimal bagi investor," tuturnya. 

Baca Juga: 3 Kesalahan Terburuk Warren Buffett soal Investasi, Penasaran?

Di Asiantrust Asset Management, terdapat sejumlah strategi pengelolaan portofolio nasabah untuk mendapatkan return yang optimal. 

"Untuk proses awal, kami akan mendasari strategi investasi dari kondisi makro ekonomi seperti suku bunga, pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca perdagangan, kebijakan bank sentral dan indikator-indikator lainnya. Setelah kami mendapatkan gambaran mengenai kondisi makro, tim kami akan melakukan alokasi aset antara saham, obligasi dan deposito," tuturnya.
 
"Selanjutnya, kami akan melakukan evaluasi atas saham dan sektor yang kami nilai memiliki potensi, demikian juga terkait durasi obligasi yang kita pilih akan disesuaikan dengan pandangan kita terhadap pasar surat utang pada saat itu," lanjutnya.

Terkait alokasi saham, dalam menentukan pilihan yang tepat, Asiantrust ungkapnya akan menimbang target harga dan asumsi yang dipergunakan untuk menentukan target harga tersebut. 

"Alokasi atas saham tergantung kepada asumsi kami, keyakinan kami atas kenaikan harga, dan margin of safety (atau margin of error) kami dengan asumsi-asumsi yang dipergunakan dari target price kami. Apabila terdapat terlalu banyak risiko terkait dengan target price kami walaupun kami suka dengan emiten tersebut, kemungkinan besar kami akan memberikan alokasi yang lebih kecil. Kalau kami merasa saham itu cenderung undervalued dan akan mencapai target price, kita akan memberikan alokasi yang lebih besar," bebernya. 

"Untuk sekarang, karena kondisi makro mengalami inflasi dan ekonomi dunia dalam tren kenaikan suku bunga, kami melakukan penempatan lebih (overweight) pada sektor perbankan seperti BCA, Mandiri, BNI dan BRI. Walaupun Bank Indonesia masih mempertahan suku bunga acuan di level 3,50%, pertumbuhan volume kredit dan kondisi sektor perbankan kami nilai masih cukup kuat, hingga sektor perbankan masih akan memiliki potensi ke depannya," kata dia.

"Jika akhirnya BI menaikkan suku bunga, sektor perbankan (khususnya big 4 banks) juga akan diuntungkan dari  kenaikan suku bunga tersebut karena kenaikan suku bunga akan menaikkan net interest margin. Demikian juga sektor komoditas seperti batu bara dan agrikultur yang kami rasa masih positif. Secara umum, kami selalu tertarik pada perusahaan-perusahaan dengan fundamental baik di harga yang relatif murah," jelasnya.

Baca Juga: Harga Emas Nyaris Stagnan Pada Rabu (27/7) Pagi, Investor Menanti Keputusan The Fed

Setelah proses pengalokasian saham rampung, proses selanjutnya terang Julian adalah menghitung risiko dan return ratio portofolio. 

"Jadi, kalau potensi return tinggi tapi risikonya juga sangat tinggi, kami mesti melakukan pendekatan optimalisasi yang berbeda pula. 

Ia melanjutkan terdapat tiga strategi pengelolaan produk Reksa Dana yang ada di Asiantrust. Ketiga strategi tersebut tercermin dalam produk Asiantrust Balanced Fund, Asiantrust Amanah Syariah, dan Asiantrust Enhanced Equity Fund.

“Asiantrust Balanced Fund memiliki komposisi 65% Obligasi dan Deposito ditambah dengan 35% Saham. Saat ini, untuk saham, kami cukup berat pada sektor perbankan, komoditas,  basic materials dan agri. Untuk Obligasi dan Deposito kita memilih durasi jangka pendek. Tujuan Reksa Dana ini adalah untuk mencapai imbal hasil yang lebih tinggi dari Obligasi (Yield Enhancement),” bebernya.

“Kedua adalah Asiantrust Enhanced Equity Fund yang terdiri dari 80-100% Saham, dan 0-20% Deposito. Strategi aktif pada Reksa Dana ini adalah dengan cara melihat top undervalued stocks dengan kapitalisasi menengah dengan tambahan alokasi yang cukup besar pada sektor perbankan. Kami melihat bahwa dalam jangka panjang komposisi ini dapat memberikan hasil yang lebih baik dari indeks acuannya,” lanjutnya. 

“Sementara untuk Asiantrust Amanah Syariah Fund terdiri dari 50% Obligasi dan Deposito serta 50% pada Saham. Alokasi ini sebenarnya mirip dengan Asiantrust Balanced Fund tapi tujuannya adalah untuk mencapai imbal hasil seperti saham dengan risiko yang lebih terukur dan lebih stabil,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi
Terbaru