JAKARTA. Di awal tahun, para investor reksadana atau saham mungkin tengah dimabuk hasil investasi yang mencengangkan. Tapi memasuki kuartal ke 2, kondisi pasar saham, obligasi dan rupiah kita pelan-pelan melorot. Celakanya, pergerakan naik turunnya pun semakin lama makin besar. Dalam sehari, IHSG bisa saja melorot 3%.
Melihat pasar yang bergejolak, mau tak mau para investor pun waswas melihat hasil investasinya di pasar finansial. Di sisi lain, investasi dalam properti ternyata sudah menjadi tren yang tengah naik daun. Begitu banyak investor yang tertarik untuk mulai melakukan diversifikasi asetnya dalam bentuk properti.
Menurut Colliers International, Jakarta sebenarnya sudah menjadi hottest property market di dunia. Akibatnya, bukan hanya investor lokal yang memburu properti di Indonesia, tapi juga investor asing. Dari riset Colliers International harga strata title office di tahun 2008 baru Rp 15 juta per m2, di tahun 2012 sudah menjadi 25 juta per m2 naik 29% dari tahun sebelumnya. Sementara harga apartemen di 2008 hanya Rp 14 juta per m2, di tahun 2012 sudah menjadi 19 juta per m2 naik 12% dari tahun sebelumnya. Sementara untuk industrial harga di tahun 2008 baru US$ 55,55 per m2 dan di tahun 2012 menjadi US$ 143,93 per m2 naik 27% dari tahun sebelumnya.
Kenaikan yang besar terjadi di tahun 2012 lalu, diperkirakan Colliers bisa terjadi lagi di 2013 dengan perkiraan 13%-15%. Pasalnya, perekonomian Indonesia masih tumbuh cukup tinggi dan inflasi juga bisa terjaga.
Melihat perkembangan pasar ini, bukan mustahil kalau ada investor yang mulai tergiur mengambil atau menambah properti sebagai investasi. Menangkap peluang ini HSBC Wealth Management membuat produk investment link yang memungkinkan para nasabahnya mendapatkan investment loan dengan kolateral portofolio reksadananya.
“Bunganya saya jamin kompetitif, tapi dari bunga yang normal ya bukan bunga promosi,” tutur Steven Suryana Head of Wealth Management HSBC Indonesia yang mengindikasikan bunga di kisaran 9%-11%.
Untuk mendapatkan pinjaman ini, HSBC akan membuat proses yang lebih cepat, karena kolateral reksadana ada di HSBC. Menurut Steven, untuk kolateral di saham maka HSBC akan memberikan pinjaman sebesar 50%. Sementara untuk kolateral obligasi negara, HSBC bisa memberikan pinjaman sebesar 70%. “Jadi kalau Anda punya reksadana saham Rp 2 miliar, maka kita berikan pinjaman Rp 1 miliar,” terang Steven.
Skema ini menurut Steven lebih bisa masuk dibandingkan memakai deposito sebagai kolateral. Pasalnya, nasabah tentu harus membayar negatif spread (selisih bunga) pinjaman yang lebih besar dibandingkan bunga deposito. Sementara dalam kolateral reksadana saham, investor berpotensi untuk mendapatkan hasil investasi double digit yang lebih besar dari bunga pinjaman.
Menarik? Tentu saja investor tetap harus sadar risiko waktu mengambil skema ini. Misalnya, pada saat pasar saham dan obligasi benar-benar anjlok, investor tidak bisa menarik portofolio yang ada dalam kolateral. Selain itu, kalau sampai nilai aset dalam kolateral investor ternyata melorot dari nilai pinjaman, maka HSBC akan meminta investor melakukan top up.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News