JAKARTA. Anda pernah mendengar kasus kematian Mudrika dan Dera? Dua nama itu sempat menghangat menjadi pemberitaan di media massa karena nasib mereka memilukan. Mudrika dan Dera adalah contoh kisah satire bahwa “si miskin dilarang sakit”. Penolakan rumahsakit menolong mereka – gara-gara mereka hanya berbekal Kartu Sehat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta– berujung pada kematian. Sungguh tragis sekaligus ironis!
Kisah itu mungkin akan happy ending andaikata mereka berasal dari keluarga mampu. Akhir yang menggembirakan mungkin juga terjadi andaikata negeri ini memiliki sistem jaminan kesehatan yang bagus bagi rakyat. Semoga Dera dan Mudrika menjadi “korban” terakhir ketiadaan jaminan pelayanan kesehatan di negeri ini.
Ya, ada secercah harapan bagi rakyat tak mampu yang mendambakan jaminan kesehatan dari negara. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) membuka harapan itu. BPJS bidang kesehatan yang akan memberikan jaminan pelayanan kesehatan pada seluruh warga negara, harus mulai beroperasi mulai pada 1 Januari 2014. Semoga harapan itu bukan pepesan kosong karena Peraturan Presiden (Perpres) No. 12/2013 menandaskan bahwa program ini wajib bagi seluruh warga negara.
Peserta dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama adalah golongan penerima bantuan iuran (PBI) yang terdiri dari fakir miskin dan orang tak mampu. Lalu, kedua, golongan non-PBI. Masuk kelompok ini adalah para pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri), karyawan perusahaan swasta, pekerja mandiri, bukan pekerja seperti veteran, penerima pensiun, dan lain-lain.
Asal Anda tahu, sebenarnya, saat ini program jaminan kesehatan ini sudah ada. Namun, sifatnya opsional alias enggak wajib. Nah, dengan kewajiban kepesertaan, tak peduli karyawan bergaji Rp 20 juta per bulan atau pengusaha beromzet besar, harus ikut program ini.
Oh, iya, program BPJS kesehatan ini tidak gratis. Mengutip informasi di halaman maya PT Jamsostek (Persero), besar iuran jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) ini adalah sebesar 3% dari pendapatan untuk peserta lajang. Adapun bagi peserta yang telah berkeluarga, besar iuran 6%.
Maksimal pendapatan yang dijadikan dasar perhitungan ini adalah Rp 3,080 juta per bulan. Artinya, meski pendapatan Anda lebih besar, besar iuran tetap mengacu pada angka maksimal tersebut. Dengan begitu, iuran maksimal peserta lajang adalah sebesar Rp 92.400 per bulan atau Rp 1,109 juta per tahun.
Adapun bagi peserta berkeluarga, iuran maksimal adalah Rp 184.800 per bulan atau Rp 2,218 juta per tahun. Itu sudah termasuk kepesertaan suami/istri dan tiga anak tanggungan berusia maksimal 21 tahun atau belum menikah.
Anda mungkin bertanya dalam hati, ngapain ikut program BPJS nanti jika saat ini sudah memiliki asuransi kesehatan sendiri? Toh, program ini juga tidak gratis? Akankah program ini memadai dalam melindungi risiko kesehatan Anda? Masih perlukah kita membeli askes lagi ketika BPJS sudah berlaku massal? Bagaimana dengan polis asuransi kesehatan yang kini sudah kita miliki?
Tengok manfaatnya
Sebelum merasa terpaksa mengikuti program BPJS ini, simak dulu detail manfaat program ini. Menurut Sardjan Lubis, Kepala Humas Jamsostek, manfaat program ini cukup luas.
Pertama, pelayanan rawat jalan tingkat pertama oleh pelaksana pelayanan kesehatan (PPK), yang terdiri dari dokter umum atau dokter gigi, baik di puskesmas, klinik, balai pengobatan, atau praktik pribadi. Kedua, manfaat rawat jalan tingkat lanjut berupa pemeriksaan dan pengobatan ke dokter spesialis berdasarkan rujukan PPK I.
Ketiga, pelayanan rawat inap di rumahsakit. Keempat, pelayanan persalinan bagi peserta yang melahirkan atau istri peserta maksimal tiga kali kelahiran. Kelima, pelayanan khusus, yaitu rehabilitasi atau manfaat untuk mengembalikan fungsi tubuh. Keenam, layanan kondisi darurat.
Enam hal itu merupakan layanan standar yang sama bagi seluruh peserta. Pemerintah menunjuk PPK dari Sabang hingga Merauke. Informasi PPK yang bisa menjadi rujukan bisa Anda akses di website Jamsostek. Terdiri atas rumahsakit umum, klinik, dokter umum, spesialis, apotek, hingga optik.
Pembedaan layanan hanya pada ruang rawat inap. Ruang rawat kelas III diperuntukkan bagi peserta PBI, pekerja bukan penerima upah seperti wiraswastawan, dan peserta bukan pekerja. Sedangkan ruang rawat inap kelas II bagi PNS/TNI/Polri dan pensiunan golongan I dan II, karyawan dengan gaji maksimal dua kali penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dengan status kawin beranak satu. Adapun kelas I diperuntukkan bagi pejabat negara, PNS/TNI/Polri dan pensiunan golongan III dan IV, dan pekerja penerima gaji lebih dari dua kali PTKP berstatus kawin satu anak.
Bagi peserta JPK yang ingin “naik kelas” perawatan inap, misalnya dari kelas III ke kelas II atau I, dimungkinkan dengan membayar biaya tambahan ke rumahsakit. “Namun, itu tergantung rumahsakit juga, apakah mau menerima perpindahan dengan penambahan biaya,” jelas Anggi, petugas bagian pusat panggilan Jamsostek.
Rawat inap yang ditanggung maksimal selama 60 hari per kasus per tahun, termasuk perawatan di unit perawatan intensif (ICU). Tanggungan sudah termasuk biaya dokter dan obat yang terkait dengan penyakit. Lumayan juga, kan?
Namun, program ini tak menanggung general atau regular check-up. Penyakit seperti kanker, jantung, penyakit menular seksual, transplantasi, juga cuci darah, juga tak termasuk. Begitu pula dengan biaya pemeriksaan dengan alat canggih seperti MRI, DSA, serta TORCH.
So, bagaimana? Apakah program ini masih menarik?
Para perencana keuangan merasa produk ini cukup menarik, dilihat dari sisi cakupan jaminan dan besar iuran. “Menarik bagi yang berpenghasilan kurang Rp 40 juta per tahun,” tandas Prita Ghozie, perencana keuangan ZAP Finance.
Begitu pula dengan Risza Bambang, perencana keuangan Padma Radya. Dia menilai iuran dan layanan program ini boleh dikata relatif murah, meski kini juga sudah banyak asuransi kesehatan dengan premi kurang dari Rp 100.000 per bulan. Cuma, dia mengingatkan, pengalaman dari program terdahulu, layanan program asuransi kesehatan pemerintah biasanya terbatas. Contoh terdekat adalah pilihan rumahsakit rujukan dan kelas kamar untuk rawat inap.
Karena itu, sebelum buru-buru mendaftarkan diri lalu menghentikan semua polis asuransi kesehatan yang Anda miliki, Pandji Harsanto, perencana keuangan Fin-Ally Planning and Consulting, menyarankan kita untuk mencermati dahulu isi dan pelaksanaan program pemerintah itu. “Pelaksanaannya, kan bertahap, coba lihat dulu bagaimana penerapan tahap pertama untuk kalangan PNS/TNI/Polri, apakah sudah cukup memadai dan berkenan bagi Anda,” kata dia.
Menurut rencana pemerintah, per 1 Januari 2014 peserta yang wajib ikut adalah golongan PBI, anggota TNI/Polri, pemegang polis PT Askes (Persero), dan peserta JPK Jamsostek. Adapun target kepesertaan seluruh warga negara baru berlaku paling lambat pada 1 Januari 2019.
Nah, mumpung tenggat waktu masih panjang, yuk kita tengok hal-hal prinsip dari asuransi kesehatan. Silakan simak penjelasan lebih lengkap di Tabloid KONTAN Edisi 18-24 Maret 2013.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News