Agar kocek tak ikut koyak ketika memutuskan pisah

Jumat, 10 Januari 2014 | 14:46 WIB   Reporter: Ruisa Khoiriyah, Mona Tobing

Perceraian semakin jamak terjadi di tengah masyarakat. Itu menjadi indikasi tantangan kehidupan pernikahan kian berat dari hari ke hari. Tak cuma menguras ongkos batin, sisi finansial juga kerap ikut terkoyak proses pahit itu. Bagaimana pengelolaan risiko finansial agar perceraian tidak kian memukul kocek?

JAKARTA. Kehidupan cinta kasih dalam bingkai pernikahan, semakin hari, seolah-olah semakin jauh dari tagline penutup dongeng yang kerap kita dengar  di masa kecil: Happily ever after atau hidup berbahagia selama-lamanya.

Kesimpulan itu mungkin tebersit di benak Anda ketika mendapati fakta tentang peningkatan angka perceraian di negeri kita. Kementerian Agama  RI pernah merilis data, setiap tahun paling tidak terjadi lebih dari 200.000 kasus perceraian. Jauh meningkat ketimbang kondisi 10 tahun silam yang “cuma” 50.000 kasus perceraian  per tahun. Cerai gugat juga kian mendominasi ketimbang cerai talak. Ini berarti semakin banyak kaum perempuan yang berinisiatif menggugat cerai.

Perceraian tak cuma melahirkan luka batin yang permanen bagi pasangan suami istri yang pernah saling mencintai. Anak-anak adalah korban utama dari pernikahan yang berakhir tragis. Di sisi lain, banyak konsekuensi finansial yang menghadang dari setiap keputusan perceraian. “Walau bercerai, urusan utang dan harta yang dimiliki selama menikah menjadi harta dan tanggungjawab bersama yang harus dibagi,” ujar Eko Endarto, perencana keuangan Finansia Consulting.

Yang paling utama adalah masalah harta gana-gini. Penyatuan dua orang dalam pernikahan berarti juga penyatuan harta. Ketika perpisahan terjadi, harta yang terkumpul selama pernikahan juga ikut tercerai.

Kedua, permasalahan utang. Banyak pasangan suami istri saat masih bersama memiliki banyak utang atau kredit bersama. Misalnya, kredit pemilikan rumah (KPR) atau mobil (KPM), dan sebagainya.

Ketiga, masalah tunjangan anak bagi pasangan suami istri yang memiliki anak. Suami sebagai kepala keluarga memiliki tanggungjawab lebih besar untuk masalah ini. Namun, dalam praktiknya, tuntutan yang sama besar juga harus ditanggung oleh si istri selaku ibu.

Keempat, biaya pengurusan proses perceraian ke pengadilan, termasuk fee pengacara, akuntan, notaris, maupun
divorce planner jika ada.

Kelima, bekal finansial pasca bercerai. Kondisi kocek turut berubah drastis jika semula Anda joint income dan kini menjadi lajang lagi. Situasi akan lebih berat bagi wanita yang tidak bekerja selama berstatus sebagai istri.

Jika terpaksa pisah
Memang, tidak ada seorangpun yang terpikir untuk bercerai ketika mengikat janji di depan penghulu atau di altar pernikahan. Namun, saat keputusan itu terpaksa harus Anda ambil, pastikan Anda telah berhitung risikonya dengan cermat.

Dalam perspektif pengelolaan keuangan atau personal finance, kasus perceraian dilihat sebagai keputusan pahit yang tetap membutuhkan penanganan khusus. Itu agar keputusan bercerai tidak menjadikan seseorang rugi secara finansial.

Apa saja yang perlu Anda persiapkan ketika terpaksa memutuskan bercerai dari pasangan? Simak ulasan berikut:

Mendaftar aset

Menurut UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang bukan termasuk harta gana-gini ada dua. Pertama, harta bawaan yang sudah dimiliki suami atau istri sebelum menikah. Kedua, harta perolehan yaitu harta milik suami atau istri setelah menikah dari hibah, wasiat, atau warisan. Kepemilikan dua jenis harta tersebut tetap menjadi milik individu suami atau istri ketika  terjadi perceraian.

Lain dari itu, maka termasuk harta gana-gini dan harus dibagi dua ketika terjadi perceraian. Buatlah daftar aset mana saja yang memang aset bawaan Anda sebelum menikah dan mana harta ketika menikah. “Dokumentasi aset termasuk kuitansi dan akta kepemilikan yang terorganisir akan mempermudah langkah itu,” ujar  Freddy Pieloor, perencana keuangan Money and Love Planning and Consulting.

Aset bergerak seperti dana di rekening bank, aset investasi reksadana, obligasi, saham, deposito, juga asuransi jiwa, jangan luput masuk daftar.

Ingat utang

Keberadaan utang adalah hal lazim dalam rumahtangga. Bagi perbankan, utang KPR atau KPM sejatinya tidak berubah kendati debitur yang berstatus suami istri kelak bercerai. Artinya, nama suami istri tetap sebagai debitur bank tersebut.

Sepakati langkah pengurusan utang. Apakah akan dilunasi  lalu kelak dijual dan hasilnya dibagi dua, atau tetap melanjutkan cicilan sesuai porsi masing-masing kendati berbeda status.

Semisal, KPR atas nama suami namun dalam kesepakatan gana-gini, rumah jatuh ke istri. Untuk itu suami perlu mengurus ke notaris bank dengan membawa surat cerai agar beban cicilan yang tersisa tidak menjadi bebannya lagi.

Tunjangan anak

Aset yang termasuk harta gana-gini, pembagiannya akan diputuskan oleh hakim di pengadilan. Termasuk keputusan terkait perlakuan terhadap kewajiban alias utang yang ada.

Freddy menggarisbawahi, harta gana-gini sejatinya termasuk hak suami dan istri di luar kewajiban terkait tunjangan anak. Dengan kata lain, pembagian gana-gini tidak menggugurkan kewajiban ayah membiayai kebutuhan anak, selama dia mampu.

Nah, kendati sudah diatur undang-undang, tidak ada salahnya istri membuat perjanjian lagi untuk mempertegas kewajiban suami terkait tunjangan anak. Kalaupun kesepakatan yang diketok adalah tunjangan anak ditanggung berdua, pembagian kewajiban harus terperinci agar tidak menjadi masalah kelak.

Isi perjanjian meliputi, bagian kewajiban mantan istri dan mantan suami, daftar kebutuhan anak yang harus ditanggung, lalu pengelolaan dana tunjangan. Semisal sudah ada investasi yang berjalan untuk kebutuhan anak, seperti reksadana untuk dana pendidikan, teruskan saja. “Tinggal dipastikan siapa yang melanjutkan kelanjutan investasinya,” Farah Dini dari Fin-Ally Planning and Consulting.

Finansial pasca cerai

Perubahan status dari menikah menjadi lajang akan memengaruhi kondisi kocek Anda.  Yang semula double income menjadi berpenghasilan tunggal. Terlebih bagi wanita yang semasa berstatus istri tidak memiliki penghasilan sendiri. “Jika begitu kondisinya, maka dia harus menyiapkan rencana  keuangan agar bisa terus hidup berbekal awal dari bagian harta gana-gini,” ujar Eko.

Penyesuaian gaya hidup pasca bercerai perlu Anda lakukan. Jangan sampai, hidup pasca perceraian menjadi lebih sengsara ketimbang saat menikah dahulu.

Bagaimanapun, tidak ada keputusan tanpa konsekuensi. Apa pun putusan Anda, pastikan itu adalah yang terbaik.     o

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ruisa Khoiriyah

Terbaru