Perencanaan keuangan adalah tanggungjawab yang melekat pada orang yang sudah memiliki penghasilan. Semakin cepat merencanakan keuangan, semakin baik. Menunda perencanaan bisa berisiko pada kenyamanan hidup. Apa yang harus kita lakukan jika terlambat berencana?
JAKARTA. Seorang kawan termenung seusai menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak pribadi, akhir Maret lalu. Informasi tentang total penghasilan selama setahun yang tertera dalam salinan SPT membuatnya gelisah. “Ternyata penghasilanku jika dikumpulkan besar juga, ya..,” ujarnya.
Penghasilan besar, bonus melimpah, namun mengapa terasa “miskin” dan tak punya apa-apa? Boro-boro punya aset bernilai besar, malah ada utang kartu kredit. Penghasilan seperti numpang lewat begitu saja. Apa yang salah?
Mungkin kisah seperti itu cukup sering kita temui. Diakui atau tidak, perencanaan di sebagian besar masyarakat Indonesia sejauh ini masih belum menjadi kebiasaan alias habit. Banyak dari kita yang masih menganut prinsip “let it flow” atau hidup untuk momen saat ini. “Perencanaan keuangan itu soal gaya hidup dan membangun kebiasaan,” kata Diana Sandjaja, perencana keuangan MRE Consulting.
Banyak orang yang malas membuat perencanaan keuangan serius karena ogah terkekang dengan anggaran yang dibuat sendiri. Ada juga yang enggan karena malu melihat fakta kekacauan pengelolaan duit mereka selama ini.
Namun, sebelum terhenti di sikap alergi dan malas dengan serba-serbi financial planning, baiknya Anda berpikir ulang. Semakin lama kitamengabaikan tanggungjawab perencanaan keuangan, risiko yang kita tanggung akan makin besar.
Yuk, kejar waktu!
Risiko ketidakamanan finansial (financial insecurity), salah satunya. Berpenghasilan besar dan bergaya hidup megapolitan, tapi malah tidak punya dana memadai untuk mengantisipasi kejadian gawat darurat? Dompet Anda tidak aman.
Kondisi kantong yang tidak aman melahirkan risiko ketergantungan. Anda akan sering merepotkan orang lain ketika mendadak butuh dana dalam situasi tertentu. Penundaan perencanaan keuangan akan membuat beban perencanaan ke depan lebih berat. “Kita bisa kehilangan potensi mendapat keuntungan,” kata Diana.
Pandji Harsanto, perencana keuangan Fin-Ally Consulting & Planning, memberikan simulasi. Misal, Anda punya bayi berusia tiga bulan. Empat tahun lagi, bayi Anda masuk taman kanak-kanak (TK) dengan uang pangkal Rp 20 juta. Jika investasi dilakukan tahun ini di reksadana pendapatan tetap ber-return rata-rata 9% per tahun, maka besar dana yang harus disisihkan adalah Rp 608.131 per bulan. Itu dengan asumsi inflasi uang pangkal 15% per tahun.
Tapi, jika investasi dimulai tahun 2014 di reksadana pasar uang dengan return 5% per tahun, maka yang disisihkan
Rp 784.900 per bulan. Reksadana pasar uang disarankan menimbang risiko target dana yang tinggal tiga tahun. Selisih penundaan mencapai 29,1% atau Rp 177.000 per bulan. “Itu baru satu pos keuangan. Bagaimana dengan pos lain seperti dana pensiun, dana rumah, dan sebagainya?Padahal kenaikan penghasilan rata-rata cuma 10%–15% per tahun,” kata dia.
Lantas, apa saja langkah kita agar keterlambatan tidak makin merugikan? Pertama, cek kondisi keuangan menyeluruh. Apakah arus kas Anda sudah positif? Bagaimana rasio kekayaan bersih Anda? Utang konsumtif sebaiknya dilunasi.
Kedua, hitung tingkat ketahanan keuangan dengan mendaftar aset likuid dan pendapatan pasif. Apakah cukup jadi bekal ketika Anda mendadak kehilangan pekerjaan? Sisihkan dana darurat untuk antisipasi kondisi emergency.
Ketiga, mengukur kecukupan proteksi. Jika punya tanggungan, Anda butuh asuransi jiwa. Keempat, baru mulailah menyusun rencana keuangan sesuai skala prioritas. “Rencana dana pensiun termasuk yang ada baiknya tidak ditunda persiapannya,” ujar Risza Bambang, perencana keuangan
dan aktuaria.
Anda bisa mulai menyusun perencanaan keuangan sendiri. Banyak meriset informasi mutlak Anda lakukan agar rencana keuangan yang Anda matang. Tunggu apa lagi?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News