Masih tinggal di rumah mertua? Jangan terlena

Rabu, 10 Desember 2014 | 11:21 WIB   Reporter: Ruisa Khoiriyah
Masih tinggal di rumah mertua? Jangan terlena

ILUSTRASI. Properti di kawasan pemukiman dan perkantoran Jakarta, Rabu (18/1/2023). /pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/18/01/2023


JAKARTA. Kebutuhan papan atau tempat tinggal, tidak dapat disangkal lagi, merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap orang agar dapat hidup layak dan nyaman. Namun, tidak semua orang mampu memenuhi kebutuhan tersebut seketika dengan keringatnya sendiri kendati sudah berkeluarga bahkan telah beranak pinak.

Sebagian orang mungkin masih tinggal di rumah orangtua atau mertua. Ada yang terpaksa menumpang karena belum mampu membeli rumah, ada pula yang memilih tinggal bersama orangtua karena alasan khusus. Sebagian yang lain, mungkin masih menikmati tinggal di rumah dinas.

Nah, apakah Anda termasuk salah satu dari kelompok tersebut? Tinggal di rumah orangtua atau di rumah dinas, boleh jadi terasa nyaman-nyaman saja bagi Anda hingga kini. Namun, ada baiknya Anda mulai berpikir lebih jauh untuk tinggal di rumah sendiri.

Rumah dinas ada batas pakainya. Ketika kelak tiba-tiba Anda terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), jatah rumah dinas tentu ikut hilang. Di sisi lain, bernyaman-nyaman tinggal di rumah orangtua setelah menikah juga sejatinya kurang bijak. Bagaimanapun, memutuskan berkeluarga berarti Anda siap hidup mandiri.

Budi Raharjo, perencana keuangan OneShildt Financial Planning, menilai, ketika kita masih tinggal di rumah dinas atau menumpang rumah mertua, acapkali kita terlena alias terlalu nyaman sehingga lupa dengan kebutuhan atas rumah pribadi. Maklum, menumpang tinggal di rumah dinas dan rumah mertua kebanyakan gratis. Kalaupun ada pengeluaran terkait rumah seperti listrik atau air, sifatnya adalah pengeluaran operasional yang nominalnya relatif tidak besar.

Gaya hidup masih belum terpapas penghematan, tiba-tiba anak pertama lahir disambung anak berikutnya. Alih-alih menyisihkan penghasilan untuk pembelian rumah, kocek Anda mungkin sudah keburu kering dibelanjakan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan tuntutan gaya hidup.

Jika sudah begitu, bukan mustahil hingga usia senja kelak, Anda tidak juga mampu memiliki rumah sendiri meski penghasilan dan gaya hidup terbilang besar.

Jangan tunda lagi

Anda tentu tidak ingin cerita akhir seperti itu terjadi. Bagaimanapun, tinggal di rumah yang dibeli dengan keringat sendiri akan terasa lebih nyaman dan membanggakan.

Bila demikian, saatnya bagi Anda untuk mulai memikirkan strategi pembelian rumah sendiri. Ingat, harga rumah sulit turun. Malah biasanya terus naik seiring permintaan yang hampir selalu ada. Menunda pembelian rumah artinya harus membayar lebih mahal kelak.

Posisi tinggal di rumah dinas atau menumpang rumah orangtua sebenarnya memberi keuntungan dari sisi kocek. Anda tidak memiliki pos pengeluaran khusus untuk biaya tempat tinggal. Misalnya, biaya sewa rumah. Dengan begitu, sisa gaji tentu lebih banyak dan bisa kita tabung untuk modal pembelian rumah, kata Budi.

Lantas, bagaimana strategi membeli rumah selagi kini Anda menumpang rumah dinas atau rumah mertua? Silakan simak saran dan trik dari para perencana keuangan berikut ini:

Tetapkan tujuan

Menetapkan tujuan bersama menjadi langkah awal yang perlu Anda tempuh. Bicarakan dengan pasangan tentang rencana pembelian rumah sendiri. Pasangan suami istri harus kompak untuk mengumpulkan dana pembelian rumah, kata Mike Rini, perencana keuangan dan Chief Executive Officer MRE Financial & Business Advisory,

Dalam perencanaan keuangan, sebuah tujuan seperti pembelian rumah harus spesifik. Misalnya, kapan dana pembelian akan digunakan, lalu hendak membeli rumah atau apartemen, metode pembelian apakah tunai bertahap atau lewat fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) dari perbankan.

Kemudian, kisaran harga rumah yang diincar berikut lokasi rumah, dan sebagainya. Tujuan keuangan yang spesifik akan membuat Anda lebih bersemangat dalam mewujudkannya.

Periksa kantong

Setelah mantap merencanakan pembelian rumah, saatnya menyusun strategi pengumpulan dana. Tapi, sebelum ke sana, Anda perlu melihat kemampuan kantong. Seberapa besar kemampuan kocek Anda dalam membeli rumah? Pastikan beban utang-utang konsumtif seperti kartu kredit sudah Anda bereskan. Tujuannya, agar ruang fiskal di kantong lebih lega tanpa beban utang konsumtif.

Periksa juga pos-pos pengeluaran. Menghemat pengeluaran yang bisa dihemat agar dana yang Anda sisihkan untuk pembelian rumah bisa lebih banyak.

Memeriksa kesehatan kantong juga penting untuk menilai jenis properti yang mampu Anda beli. Tidak perlu memaksakan diri membeli yang jauh di atas kemampuan kantong yang yang sebenarnya. Terlebih jika Anda membeli melalui skema KPR dengan masa cicilan hingga puluhan tahun.

Skema pembelian

Harga rumah tidak murah. Mengumpulkan dana sekian ratus juta bahkan mungkin lebih mustahil bisa dilakukan dengan cepat apabila posisi Anda adalah karyawan bergaji bulanan kelas menengah.

Namun, dengan kemampuan finansial yang terbatas, memiliki rumah bukanlah hal mustahil. Anda bisa memanfaatkan KPR dari perbankan sebagai skema pembelian rumah.

Apabila memilih KPR, fokus pengumpulan dana pembelian bisa dipersempit sebesar dana uang muka atau down payment (DP). Besar DP umumnya sekitar 30% dari harga rumah. Pastikan juga kantong Anda mampu untuk menanggung cicilan bulanan KPR kelak. Maksimal beban total tanggungan utang, termasuk utang kartu kredit, adalah 30% dari penghasilan. KPR merupakan salah satu jenis utang produktif yang menguntungkan, imbuh Budi.

Akan tetapi, jika kantong cukup tebal, Anda bisa menimbang pembelian properti dengan cicilan bertahap ke pengembang. Banyak developer menawarkan pembelian rumah dengan skema cicilan 12 kali hingga 36 kali. Besar bunga dari developer biasanya lebih kecil daripada bunga KPR bank.Mulai kumpulkan

Setelah bersepakat dengan pasangan tentang tujuan besar tersebut dan menyesuaikan dengan kondisi kantong, saatnya kini menyisihkan pendapatan untuk kebutuhan pembelian rumah. Berapa yang harus kita sisihkan?

Budi menyarankan Anda untuk menyisihkan sekitar 15%20% dari total penghasilan bulanan untuk keperluan dana pembelian rumah. Sedangkan Mike menyarankan, paling tidak sebesar 30% dari total penghasilan gabungan suami istri harus disisihkan setiap bulan untuk dana pembelian rumah.

Begitu juga apabila ada pendapatan ekstra atau pendapatan tahunan, seperti uang bonus kerja atau tunjangan hari raya (THR). Sisa pendapatan sebanyak 70% alokasikan sebanyak 20% untuk dana darurat dan tujuan keuangan lain, sedang 50% untuk biaya hidup sehari-hari, saran Mike.

Mike cenderung menyarankan untuk mengumpulkan dana uang muka (down payment) pembelian rumah saja. Besarnya sekitar 30% dari harga rumah. Beli rumahnya mencicil lewat KPR saja, kata dia.

Menabung atau investasi?

Pandji Harsanto, perencana keuangan independen, berpendapat, apabila target pembelian rumah adalah dua tahun mendatang, kumpulkan dananya di tabungan saja karena risikonya minim. Anda bisa memindahkannya ke deposito yang berbunga lebih tinggi ketimbang tabungan biasa, saat dana telah mencapai nominal tertentu. Pilih tenor deposito sesuai target waktu penggunaan dana.

Namun, jika target pemakaian dana di atas 5 tahun, lebih baik berinvestasi saja. Dengan investasi, ada harapan dana berkembang dan tidak tergerus inflasi, imbuh Budi.

Umumnya orang menabung dana pembelian rumah dalam jangka pendekmenengah antara 3 tahun hingga 5 tahun.

Sebagai contoh, Anda ingin membeli rumah seharga Rp 800 juta saat ini, empat tahun lagi. Jadi, Anda harus menyiapkan DP sekitar Rp 240 juta. Dengan asumsi inflasi harga properti 15% per tahun, maka besar DP tahun 2018 mencapai Rp 419,76 juta. Kebutuhan dana sebesar itu bisa terkumpul dengan menyisihkan dana Rp 5,06 juta per bulan selama empat tahun, di instrumen investasi dengan return 25% per tahun.

Nah, bagaimana jika Anda ingin mengejar pembelian rumah sekarang karena menimbang risiko inflasi, namun dana DP belum cukup? Bolehkah berutang untuk menutupnya?

Pandji menilai, berutang untuk menutup kebutuhan DP boleh ditempuh hanya jika beban cicilannya mampu Anda tanggung berikut cicilan KPR kelak. Ingat rumus penting: total beban utang tidak boleh lebih dari 30% dari penghasilan.

Upayakan mencari pinjaman lunak tanpa bunga dari pemberi kerja atau kerabat. Alternatif lain, saran Mike, carilah unit rumah yang DP-nya bisa dicicil. Biasanya, proyek rumah yang masih inden memberi fasilitas cicil DP, kata Mike.

Namun, ingat, membeli properti inden juga memiliki risiko wanprestasi jika reputasi developer kurang bagus. Pilih properti dari pengembang tepercaya agar lebih aman.

Siap-siap biaya lain

Membeli rumah melahirkan rentetan biaya lain yang juga perlu disiapkan dananya, antara lain, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), biaya provisi, biaya administrasi, biaya notaris, biaya appraisal, kemudian asuransi kebakaran. Juga ada biaya balik nama antara Rp 3 juta hingga Rp 5 juta, ungkap Mike.

Yang tak kalah penting, pilih rumah yang cukup dekat dengan fasilitas publik, seperti KRL, pasar, dan rumahsakit. Juga, tidak perlu tergiur tawaran pembelian properti berhadiah langsung. Karena, tidak ada makan siang gratis, tegas Mike.

Nah, kini, saatnya Anda menyusun strategi sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Cipta Wahyana

Terbaru