Biar orang kaya baru tetap sejahtera

Selasa, 12 September 2017 | 10:00 WIB   Reporter: Francisca Bertha Vistika
Biar orang kaya baru tetap sejahtera


DANA DARURAT - Pernah dengar istilah OKB, dong? Itu, lo, orang kaya baru. Julukan yang berasal dari bahasa Prancis, nouveau riche, ini untuk menggambarkan orang-orang yang dalam waktu singkat memiliki kekayaan dalam jumlah besar.

Sumber yang membuat mereka kaya mendadak macam-macam. Misalnya, dapat warisan dengan nilai segunung, atau kompensasi penggusuran. Karyawan baru yang naik pangkat sehingga penghasilan bertambah juga bisa masuk kategori OKB, lo.

Maklum, gaya hidupnya berubah drastis. Dari mengontrak rumah kini tinggal di apartemen. Dari naik angkutan umum sekarang ke mana-mana pakai mobil pribadi.

Cuma, banyak OKB tidak bisa mempertahankan kekayaan yang mereka punya alias easy come easy go. Kok?

Sebab, mereka tidak bisa mengelola keuangan. Habis, yang ada di pikiran mereka: mumpung dapat rezeki nomplok, waktunya menggunakan untuk membahagiakan diri.

Memang, Pandji Harsanto, Perencana Keuangan Finansia Consulting, mengungkapkan, rata-rata orang yang kekayaan atau penghasilannya melonjak tajam, gaya hidupnya mengikuti. Contoh, awalnya mengontrak rumah biasa, begitu naik jabatan pindah ke apartemen mewah dekat kantor.

Senada, Tejasari, Perencana Keuangan Tatadana Consulting, bilang, memang agak susah mengerem gaya hidup orang kaya baru, misalnya, gara-gara naik jabatan. Terkadang, mereka harus mengapresiasi diri sendiri atas prestasi yang diraih. Mulai sekadar ganti ponsel hingga tunggangan, dari sepeda motor ke mobil.

“Padahal sebenarnya, naik jabatan karena promosi tidak harus membuat gaya hidup ikutan naik. Namun, kelihatannya orang sulit membedakan mana kebutuhan dan keinginan,” kata Tejasari.

Kelola keuangan

Nah, kunci agar predikat orang kaya terus melekat atau kekayaan yang baru didapat tidak menguap begitu saja, memang perlu mengelola keuangan dengan baik. Dengan perencanaan keuangan, kekayaan para OKB tidak hanya bertahan juga bisa bertambah.

Jadi, Tejasari menegaskan, kalau jabatan atau pangkat naik, sebenarnya yang harus ikutan naik adalah porsi investasi. “Bukan malah gaya hidup yang naik,” ungkap dia.

Begitu juga kalau jadi OKB karena mendapat warisan berupa uang yang banyak. Sah-sah saja si OKB gunakan duit itu untuk senang-senang, memenuhi keinginan maupun kebutuhannya. Tapi tetap, harus ada yang diinvestasikan.

Kalau dapat warisan tanah, aset itu bisa juga dijual dan hasilnya diinvestasikan ke berbagai instrumen. Bisa berbentuk reksadana, emas, dan obligasi ritel. Sehingga, saat membutuhkan uang tunai cepat, bisa dengan mudah dicairkan.

Hanya, menurut Pandji, jika seseorang baru saja ketiban rezeki yang membuatnya berubah 180 derajat jadi OKB, orang itu juga perlu memahami dulu: rezeki itu merupakan aset lancar atau tidak lancar. “Kalau tiba-tiba dapat kekayaan, harus punya aset lancar untuk sirkulasi kekayaan itu,” ujarnya.

Ambil contoh, menjadi OKB gara-gara memperoleh warisan berupa rumah mewah dari mendiang orangtua. Pandji bilang, orang itu mesti terlebih dahulu memikirkan soal pajak bumi dan bangunan (PBB) jika memang rumah tersebut 100% menjadi milik sendiri.

Maklum, rumah mewah identik dengan tanah dan bangunan yang luas. Tentu, PBB yang harus dibayar enggak sedikit, apalagi kalau letak rumah itu ada di kawasan elite yang nilai jual objek pajaknya selangit.

Jika memang si OKB tidak punya aset lancar untuk membayar PBB yang besar, lebih baik dia sewakan rumah itu untuk bisa menutup pajaknya. Jangan sampai dapat warisan berupa rumah gedong tapi hidup malah jadi susah.

Sebetulnya, baik orang kaya baru maupun yang sudah lama jadi orang tajir, Pandji menyatakan, menjaga kesehatan keuangan sangat penting agar tidak gampang melarat.

Pandji mencontohkan, karyawan baru yang naik jabatan biasanya juga membiayai gaya hidupnya yang anyar dengan cara mencicil. Misalnya, membeli mobil.

Nah, sebelum mengambil cicilan kendaraan, mereka harus tahu kemampuannya.  “Cicilan naik tidak apa-apa, tapi jangan lebih dari 30% penghasilan barunya,” tegas dia.

Yang bahaya adalah pekerja yang mendapat penghasilannya tidak tetap. Sebut saja, pekerja tambang.

Mereka mendapat upah besar tapi gaji pokok hanya 10%, sisanya berbentuk tunjangan. Padahal, tunjangan itu berasal dari kinerja penjualan perusahaan tambang tempat mereka mengadu nasib.

Misal, gaji pokoknya hanya Rp 2 juta per bulan. Namun, karena penjualan perusahaannya bagus, maka dia dapat tunjangan hingga Rp 30 juta.

Tapi, bulan depan tunjangan turun jadi Rp 15 juta, seiring penjualan perusahaan yang turun. Nah, terkadang mereka hanya memikirkan pendapatan yang manis saja, bukan yang pahit.

Jangan berbisnis

Tejasari menambahkan, jika gaji awal Rp 10 juta sebulan kemudian dengan kenaikan jabatan atau pangkat menjadi Rp 20 juta, orang itu harus tetap mengelola keuangan sesuai pos-pos sebelumnya.

Kalau pos investasi yang semula Rp 1 juta atau 10% dari gaji awal, maka begitu naik jabatan investasinya bertambah menjadi Rp 2 juta atau 10% dari gaji baru. Syukur-syukur porsinya naik.

Kenaikan nilai investasi itu bisa juga digunakan untuk menambah tujuan keuangan anyar. Bila sudah investasi untuk biaya pendidikan anak dan dana pensiun, begitu naik gaji bisa investasi buat naik haji.

Untuk pos gaya hidup dan utang pun, Tejasari menyebutkan, porsinya harus sama. Misalnya, pos gaya hidup sebelumnya 5%, maka harus dipertahankan tetap 5%. Porsi cicilan juga tetap harus di bawah 30% pendapatan bulanan.

Jangan lupakan untuk menambah isi dari pos dana darurat. Dana darurat dalam keuangan keluarga menjadi solusi untuk kebutuhan yang enggak disangka-sangka, yang memerlukan penanggulangan segera. Kebutuhan mendesak ini umumnya bersifat musibah, seperti sakit, kecelakaan.

Menurut Tejasari, besaran dana darurat minimal tiga kali dari pengeluaran rutin bulanan. Sementara Pandji mengatakan, untuk amannya, besaran dana darurat sekitar enam kali pengeluaran rutin bulanan.

Tapi, Tejasari mewanti-wanti, jika seseorang kaya mendadak karena mendapat warisan, uangnya jangan digunakan buat usaha. “Jangan salah kaprah bahwa uang hasil warisan dijadikan bisnis, ya. Bisa hilang. Jadi sebaiknya, uang warisan dijadikan dalam aset yang terjaga,” imbuh Tejasari.

Soalnya, bisnis bisa saja rugi. Dan, kalaupun untung, jumlahnya tidak akan besar dalam sekejap.

Jika punya utang, lebih baik uangnya dipakai untuk melunasi semua pinjaman dibanding untuk berbisnis. Kecuali, untuk menambah modal bisnis yang sudah jalan.

OKB yang tetap sejahtera.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: S.S. Kurniawan

Terbaru