Agar aset si lajang berada di tangan berwenang (1)

Kamis, 26 Januari 2012 | 15:22 WIB   Reporter: Anastasia Lilin Y
Agar aset si lajang berada di tangan berwenang (1)

ILUSTRASI. Ada banyak hal yang menyebabkan mulut terasa pahit. (Tribun Jateng/Hermawan Handaka)


JAKARTA. Lajang, berpenghasilan, dan memiliki sejumlah portofolio investasi yang yahud. Kondisi ini, tampaknya, sempurna benar. Namun, tunggu dulu. Segala sesuatu bisa saja terjadi, termasuk musibah dan maut yang tak bisa diprediksi kapan datangnya. Jika si lajang tak lagi bisa mengeksekusi hartanya, siapa yang berhak untuk melakukannya?

Kondisi tersebut otomatis menampik anggapan bahwa membuat surat warisan hanya menjadi urusan kakek-kakek dan nenek-nenek atau orangtua yang memiliki anak banyak. Pada kenyataannya, masalah finansial seperti pengelolaan harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang berhalangan secara fisik atau bahkan meninggal dunia bisa menimpa siapa pun. Tak terkecuali, menimpa seorang lajang.

Oleh karena itu, para perencana keuangan kompak menyatakan: surat warisan penting bagi semua individu yang merasa memiliki aset berlebih. “Untuk mengamankan aset dan menjaga hubungan baik dalam keluarga,” kata Freddy Pieloor, perencana keuangan MoneynLove Financial Planning and Consulting. Soalnya, sudah banyak cerita, harta justru menjadi sumber perpecahan keluarga dan kerabat.

Perencana keuangan dari TGRM Financial Planning Services Taufik Gumulya menjelaskan, surat warisan yang dibikin sejak lajang juga penting untuk keperluan perjanjian pranikah. Jadi, ketika seorang lajang tersebut kelak menikah tapi kemudian bercerai, surat warisan saat lajang bisa memudahkan pembuatan surat pisah harta.

Namun, perjalanan hidup seseorang tentu tak sesederhana hanya berada dalam dua kondisi: hidup dan mati. Kadangkala, ada masa-masa ketika seorang lajang sakit bahkan sakit kritis dan membutuhkan biaya besar. Dalam kondisi tak berdaya tersebut, mustahil bagi si lajang untuk melakukan eksekusi atas asetnya untuk membiayai pengobatannya.

Nah, menurut perencana keuangan dari Safir Senduk & Rekan Rakhmi Permatasari, untuk mengeksekusi aset saat sang pemilik aset tersebut masih hidup, diperlukan surat kuasa. Sementara, peruntukan surat warisan adalah untuk mengeksekusi aset setelah sang pemilik aset tersebut meninggal dunia.

Namun, pada dasarnya, baik surat kuasa dan surat warisan memiliki fungsi sama, yakni memuat keinginan sang pemilik aset terhadap semua aset yang dia miliki. Surat itu juga memberikan rekomendasi kepada pihak lain atas harta yang dimiliki ketika secara fisik sang pemilik tidak bisa mengelolanya.

Taufik menjelaskan, kedua surat tersebut bisa dibikin sesuai kebutuhan si lajang sebagai pemilik harta. “Kalau perlu hingga disebutkan aset mana saja yang bisa dieksekusi pada kondisi-kondisi tertentu ketika si lajang tersebut, misalnya, sedang dalam kondisi sakit kritis,” katanya.

Freddy, secara khusus, menyoroti lajang yang mempunyai rekam medis kurang baik. Sebaiknya, orang tersebut lebih banyak menempatkan asetnya ke dalam portofolio investasi yang bersifat lebih gampang dicairkan sewaktu-waktu atawa likuid. Jadi, ketika lajang tersebut harus berurusan dengan biaya rumah sakit yang membengkak, pihak yang dipercaya mengelola asetnya lebih mudah melakukan eksekusi. “Sebaiknya, penempatan aset likuidnya lebih dari 50%,” saran Freddy. Pertimbangan Freddy, eksekusi aset ini adalah pertimbangan kedua setelah asuransi kesehatan tidak bisa menutup semua biayanya.

Tak cuma orang kaya

Jika keberadaan surat kuasa maupun surat warisan penting bagi lajang, lantas sejak kapan sebaiknya seorang lajang membikin surat ini? Taufik memberi acuan, sejauh potensi pertambahan asetnya besar, seseorang wajib segera membikin surat kuasa atau surat warisan.

Bahkan, Taufik menegaskan, pembuatan surat warisan dan surat kuasa tidak hanya menjadi kewajiban orang kaya. Toh, menurutnya, tak ada tolok ukur yang baku untuk kriteria kaya ini alias sifat penilaiannya relatif. “Seseorang dengan gaji Rp 5 juta - Rp 10 juta per bulan, tapi manajemen keuangannya baik bisa saja masuk dalam kriteria orang yang sebaiknya buat surat kuasa atau warisan,” ungkapnya.

Namun, menurut Taufik, setidaknya ada dua indikator yang bisa menandai seseorang dianggap mapan dan wajib membuat surat kuasa atau warisan. Pertama, saat lajang tersebut sudah mampu mencukupi 100% kebutuhannya. Kedua, jika persentase pertumbuhan asetnya per tahun lebih besar dari inflasi di negara dia tinggal.

Sementara, menurut Freddy, selain aset berlimpah, potensi pertikaian juga patut dijadikan alasan bagi seorang lajang untuk membuat surat kuasa dan warisan. Misalnya, jika seorang lajang tersebut ternyata sudah tidak memiliki ayah dan ibu.

Masalahnya secara hukum, jika seorang lajang meninggalkan harta, harta tersebut otomatis menjadi milik kedua orangtuanya. Namun, jika kedua orangtuanya sudah meninggal, Freddy menilai, ada potensi pertikaian harta di antara saudara si lajang. Potensi pertikaian semakin meluas jika ternyata si lajang yang yatim piatu tersebut ternyata anak tunggal. “Potensi pertikaian harta bisa terjadi di keluarga lapisan kedua dan ini pasti makin rumit,” ujar Freddy. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini

Terbaru