Tidak sedikit orangtua yang mengeluh lantaran sang buah hati merasa uang sakunya kurang. Tak jarang, si anak merengek meminta tambahan duit lantaran uang saku sudah habis. Urusan uang saku anak memang seringkali menjadi perkara gampang-gampang susah.
Bagi Lusia Kustri Irawati, uang saku anak bukan sekadar uang buat jajan di sekolah. Dengan memberikan uang saku, perempuan berusia 42 tahun ini sekaligus mengajarkan untuk kedua putrinya yang kini duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) dan bangku kuliah untuk mengelola uang.
Saat sang buah hati duduk di bangku sekolah dasar (SD), ibu rumah tangga yang tinggal di Yogyakarta ini memberikan uang saku secara harian. Kini, putri bungsunya yang duduk di bangku SMP memperoleh uang saku sebesar Rp 50.000 per minggu. Frekuensi pemberian uang saku yang semakin jarang ini seiring kepandaian anak dalam mengelola keuangan. “Saya juga mengajarkan mereka membeli kebutuhan sendiri dan menabung sisa uang saku,” ujar Lusia.
Perencana keuangan Janus Financial Dwita Ariani, mengamini, pemberian uang saku merupakan cara mengajarkan anak untuk mengelola uang sedini mungkin. Ini merupakan tugas orangtua untuk membantu proses pendewasaan anak menghadapi uang.
Menurut Diana Sandjaja, perencana keuangan Tatadana Consulting, orangtua biasanya memberikan uang saku untuk memenuhi kebutuhan pribadi sang buah hati di sekolah. Namun, pemberian uang saku akan membiasakan anak memegang uang, mengambil keputusan keuangan, dan mengelola keuangan sendiri.
“Manfaat utama pemberian uang saku adalah memberi pelajaran sejak dini pada anak mengenai fungsi, kegunaan serta nilai uang,” imbuh perencana keuangan OneShildt Financial Planning Risza Bambang.
Mekanisme pemberian
Seperti pelajaran di sekolah, pelajaran mengelola uang melalui pemberian uang saku juga mesti bertahap. Pelajaran anak SD tentu berbeda dengan pelajaran anak SMA. Begitu pula, pemberian uang saku kepada anak SD tentu berbeda dengan anak SMA. Sebab, kemampuan keuangan anak SD berbeda dengan anak SMA. Bukan hanya nilai atau besar uang saku yang berbeda, Diana bilang, sistem dan cakupan tanggung jawab juga berbeda.
Anak SD yang baru duduk bangku kelas 1, menurut Diana, belum bisa membedakan nominal uang dan belum mengetahui cara bertransaksi yang benar. Namun, anak sebetulnya sudah mengetahui penggunaan uang sebagai alat untuk membeli berbagai kebutuhan.
Nah, di usia tersebut, Diana bilang, orangtua bisa sesekali memberikan uang kepada sang buah hati untuk sekali transaksi. Jadi, pemberian uang saku pada tahap ini lebih bersifat pengenalan.
Nah, Dwita mengatakan, uang saku bisa diberikan saat anak mulai mengerti fungsi dan nilai uang. Biasanya, anak yang duduk di kelas 2 SD sudah memahami hal ini. Mereka juga sudah bisa membelanjakan uang secara mandiri.
Risza menilai, pemberian uang saku sebaiknya tidak terlalu dini. Ada baiknya, pemberian uang saku dimulai bersamaan dengan materi pelajaran sekolah mengenai nilai dan mata uang agar selaras dengan metode pendidikan formal.
Lalu, bagaimana sistem pemberian uang saku yang ideal kepada anak? Berapa nilai uang saku yang ideal dan bagaimana frekuensinya?
• Nilai uang saku
Berapa, sih, besar uang saku yang pas buat anak? Para perencana keuangan sepakat, tidak ada patokan tertentu untuk nilai uang saku. Yang jelas, orangtua harus menyesuaikan nilai uang saku dengan usia dan kebutuhan anak. “Jangan memberikan uang saku yang terlalu besar agar anak belajar memahami nilai uang dan menciptakan motivasi untuk memperoleh uang yang lebih besar di masa depan,” ujar Risza.
Lantaran disesuaikan dengan usia dan kebutuhan, nilai uang saku anak SD tentu berbeda dengan uang saku anak SMA. Karena itu, Dwita mengatakan, orangtua harus mengetahui kebutuhan anak setiap hari. Misalnya, anak perlu membeli makanan dan minuman saat jam istirahat di sekolah. Risza bilang, orangtua sebaiknya menyesuaikan uang saku dengan harga makanan yang tersedia di kantin sekolah.
Perkirakan juga kuantitas jajanan yang dibutuhkan anak. Sebaiknya, uang saku untuk anak hingga kelas 5 SD hanya untuk jajan saat rehat. Sedangkan kebutuhan makan siang tetap dibawakan dari rumah.
Menginjak kelas 6 SD, anak bisa memperoleh uang saku untuk makan siang. Sebab, Risza bilang, mereka juga membutuhkan sosialisasi dan meningkatkan rasa percaya diri menghadapi penjaja makanan di kantin sekolah.
Selain kebutuhan jajan, anak yang berangkat sekolah menggunakan kendaraan umum membutuhkan uang saku untuk ongkos transportasi. Karena itu, uang saku anak juga sudah harus memasukkan biaya ini. Orangtua harus tahu berapa ongkos transportasi yang dibutuhkan anak untuk ke sekolah maupun pulang ke rumah.
Seiring kenaikan jenjang sekolah, kebutuhan anak biasanya bertambah. Maklum, anak biasanya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Karena itu, uang saku anak juga harus mencakup biaya kebutuhan saat anak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
Untuk anak SMP, Risza menyarankan, uang saku perlu mencakup biaya membeli buku dan biaya transportasi. Sedangkan uang saku anak SMA dan kuliah bisa ditambah dengan uang untuk biaya praktikum maupun dana untuk sosialisasi, seperti menonton bioskop.
Dana untuk membeli pulsa telepon juga dimasukkan dalam uang saku. Namun, orangtua harus tetap mengontrol dana komunikasi untuk mencegah penggunaan telepon seluler yang tidak benar.
• Anggaran menabung
Orangtua mesti mengajarkan kepada anak, uang saku bukan sekadar uang jajan. Jangan sampai, uang saku habis hanya untuk jajan. Karena itu, orangtua juga harus mengajarkan anak sejak dini untuk menyisihkan uang saku dan menabung sisa duit tersebut.
Menurut Dwita, tidak ada salahnya uang saku buat anak sudah mencakup anggaran untuk menabung. Dengan begitu, anak didorong untuk menabung sisa uang saku. Pandji Harsanto, perencana keuangan OneShildt Financial Planning, menambakan, sebesar 30%–50% dari jumlah uang saku boleh digunakan anak untuk jajan atau membeli kebutuhan saat di sekolah. Sisanya merupakan uang yang dialokasikan untuk menabung.
Namun, menurut Risza, orangtua tidak perlu memasukkan anggaran tabungan ke dalam uang saku anak. Sebab, anggaran khusus tersebut tidak akan mengajarkan anak menyisihkan sebagian uang saku untuk tabungan. Selain itu, anak juga tidak terdidik menjaga nafsu belanja. Meski begitu, orangtua tetap harus mengajarkan anak untuk membuat anggaran tabungan dari sisa uang saku mereka.
• Frekuensi
Bagi orangtua, pemberian uang saku secara bulanan memang lebih praktis dibanding pemberian uang saku secara harian yang lebih merepotkan. Namun, perencana keuangan mengingatkan, frekuensi pemberian uang saku juga harus bertahap dan disesuaikan dengan usia dan kematangan anak dalam mengelola keuangan.
Memberikan uang saku secara harian memang lebih repot. Saban hari, Anda harus menyediakan uang pecahan dalam jumlah tertentu untuk uang saku sang buah hati. Namun, anak yang baru duduk di bangku SD sebaiknya memperoleh uang saku secara harian.
Diana mengatakan, pemberian uang saku secara harian merupakan langkah awal bagi anak untuk belajar mengelola keuangan. Frekuensi secara harian juga menjadi langkah awal bagi anak untuk belajar bertanggung jawab terhadap uang yang ia terima.
Nah, jika anak bisa mempertanggungjawabkan uang saku yang ia peroleh secara harian, berarti ia bisa naik tingkat ke jenjang frekuensi yang lebih panjang. Uang saku untuk anak kelas 6 SD atau anak SMP bisa menggunakan sistem mingguan. Ini menjadi kesempatan bagi anak untuk mengelola keuangan secara jangka lebih panjang dibandingkan harian.
Frekuensi pemberian uang saku bisa meningkat menjadi bulanan jika buah hati Anda bisa mengelola uang saku yang diberikan saban pekan. Namun, jika uang saku sudah habis sebelum akhir pekan, anak belum lulus mengelola keuangan secara mingguan.
Sebaiknya, frekuensi pemberian uang saku tidak ditingkatkan menjadi bulanan. Boleh jadi, frekuensi pemberian uang saku kembali ke sistem harian jika memang pengelolaan uang saku anak makin memburuk. “Jangan sampai diberi uang saku untuk satu bulan tapi sudah habis dalam tiga hari pertama. Itu tandanya belum lulus,” ujar Pandji.
Seiring kematangan pengelolaan keuangan, anak SMA biasanya sudah bisa memikul kepercayaan untuk mengelola keuangan secara bulanan. Begitu pula, uang saku untuk mahasiswa sebaiknya juga diberikan secara bulanan.
Menurut Risza, pemberian uang saku secara bulanan bagi anak SMA atau mahasiswa agar orangtua tidak terlalu repot. Sebab, nilainya cukup besar. Pada jenjang kuliah, anak sebaiknya juga dilatih untuk memiliki rekening bank. Ini akan memudahkan pemberian uang saku melalui transfer. Apalagi, kadangkala anak kuliah di luar kota. Selain kemudahan, pemberian uang saku lewat transfer bank juga akan melatih dan memberikan pengetahuan mengenai dunia perbankan.
Rakhmi Permatasari, perencana keuangan dari Safir Senduk & Rekan, mengingatkan, masing-masing sistem pemberian uang saku memiliki kelebihan dan kekurangan. Sistem bulanan memang membikin orangtua tidak repot. Tapi, ada kemungkinan si anak langsung menghabiskan semua uang sakunya dalam beberapa hari.
Meski begitu, pilihan frekuensi pemberian uang saku sebetulnya tergantung kematangan anak. Semakin jarang frekuensi pemberian uang saku, anak harus semakin pintar mengatur uang. Dengan frekuensi yang lebih lama, anak akan berpikir untuk masa depan dan membagi pengeluaran lebih lama.
Menurut Pandji, tidak ada kelebihan maupun kekurangan dari masing-masing sistem pemberian uang saku. Yang penting, orangtua selalu mengontrol anak dalam mengelola keuangan. Jenjang frekuensi pemberian uang saku hanya bentuk kemandirian mengatur uang. “Kenalan saya ada yang memberi anaknya uang saku per tahun karena sudah percaya,” ujar Pandji.
• Evaluasi
Semakin anak dewasa dan matang dalam mengelola keuangan, orangtua tidak perlu ragu menambah tanggung jawab keuangan. Yang tidak boleh dilupakan, orangtua harus senantiasa melakukan evaluasi terhadap pengelolaan keuangan sang buah hati.
Dwita mengatakan, orangtua sebaiknya menanyakan kepada anak alokasi belanja uang saku selama sepekan. Lalu, tanyakan juga berapa uang yang berhasil mereka sisihkan untuk anggaran tabungan. Orangtua bisa memberi penghargaan saat anak mampu menyisihkan lebih dari 10% uang saku mereka.
Sebaliknya, jika uang saku habis sebelum waktunya, orangtua perlu mengajak anak berdiskusi. Jika anak mengeluh uang sakunya kurang, jangan buru-buru menambahkannya. Ketahui terlebih dahulu penyebabnya, apakah memang kurang atau pemakaian uang saku tidak terkontrol sehingga anak menjadi konsumtif.
Nah, saat anak cenderung konsumtif, orangtua harus mengajarkan anak membuat tujuan keuangan. Mereka perlu memahami bahwa memperoleh sesuatu membutuhkan waktu dan usaha. Biasakan mereka agar bisa menyisihkan uang saku untuk tabungan sejak awal, di saat mereka menerima uang saku.
Dengan cara ini, anak mulai belajar bertanggung jawab terhadap uang yang diberikan. Mereka akan mempelajari pola belanja mereka sendiri. Sehingga, saat duduk di bangku SMA, bisa saja mereka sudah bisa bertanggung jawab untuk membayar uang sekolah tiap bulan, uang les, maupun uang kegiatan yang lain. Tentu, orangtua tetap perlu memantau terus.
Saat dewasa, anak tidak hanya belajar menabung, namun juga mulai berinvestasi. Malah, menurut Pandji, orangtua bisa menggunakan tabungan anak untuk membelikan reksadana atas nama anak. Jadi, anak mulai belajar berinvestasi sejak dini dari uang saku mereka.
Nah, silakan menerapkan demi keberhasilan sang buah hati mengelola keuangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News