Pecah skandal, gelar pun terancam

Senin, 17 Maret 2014 | 13:29 WIB   Reporter: Ruisa Khoiriyah
Pecah skandal, gelar pun terancam

ILUSTRASI. Pengungsi Rohingya menunggu penerimaan bantuan dari relawan di Kuala Lumpur, Malaysia, 7 April 2020. REUTERS/Lim Huey Teng


JAKARTA. Skandal investasi bodong CV Panen Mas yang menyeret nama perencana keuangan independen QM Financial ternyata masih berbuntut panjang. Financial Planning Standards Board (FPSB) Indonesia, lembaga penyelenggara sertifikasi Certified Financial Planner (CFP)dan Registered Financial Planner (RFP), menanggapi serius kasus yang menghebohkan dunia perencana keuangan tersebut.

Tri Joko Santoso, Ketua FPSB Indonesia, mengungkapkan kepada KONTAN, saat ini FPSB telah membentuk komite etik untuk menginvestigasi kasus QM Financial yang terseret skandal CV Panen Mas. “Kami perlakukan kasus ini sebagai kasus serius dan fair bagi semua pihak, baik bagi yang tersangkut, profesional perencana keuangan lain, bagi klien, juga bagi masyarakat,” ujar dia, Jumat dua pekan lalu (7/2).

Tri Joko menjelaskan, sebagai lembaga di Indonesia yang berhak mengeluarkan sertifikasi CFP dan RFP, FPSB berkepentingan mengurus kasus tersebut sebagai bagian dari prosedur pendisiplinan pemilik gelar. “Saat ada keluhan atau dugaan pelanggaran kode etik CFP, baik dari masyarakat, profesional CFP, atau pihak lain, kami lakukan prosedur ini,” jelas Tri Joko.

Seperti telah ditulis KONTAN sebelumnya, dalam skandal investasi bodong Panen Mas yang dialami oleh beberapa klien QM Financial, muncul beberapa nama perencana keuangan QM yang bergelar CFP, termasuk Ligwina Hananto selaku CEO QM Financial (baca Tabloid KONTAN edisi 24 Februari-2 Maret 2014).

Komite etik itu terdiri atas 13 orang yang dinilai cukup representatif dan mampu memberi pandangan objektif atas kasus tersebut. Mereka berasal dari Asosiasi Pengelola Reksadana Indonesia (APRDI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), praktisi perencana keuangan, Independent Financial Planner Club (IFPC), juga ahli hukum. “Komite sudah terbentuk dan sudah mulai bekerja,” kata Tri Joko.

Tri Joko menuturkan, seorang CFP dan RFP dibatasi oleh kode etik dan tanggungjawab profesional, aturan perilaku (rule of conduct), standar praktik, hingga pedoman penggunaan tanda RFP dan CFP. Hal-hal itulah yang akan dilihat dalam kasus QM, apakah terjadi pelanggaran oleh para CFP atau tidak.

Kompetensi kurang?

Tri Joko mencontohkan, salah satu fokus perhatian tim adalah sisi kompetensi sebagai CFP. Merujuk pada draft plan yang disusun dan diberikan QM kepada klien mereka, Hery Mada Indra Paska, ada dua rekomendasi yang terbukti bodong di kemudian hari, yaitu investasi di CV Panen Mas dan investasi emas Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS). “Kami akan bertanya pada mereka, mengapa produk yang Anda nilai dan rekomendasikan, kok, jebol semua? Berarti, ada masalah pada kompetensi pemberian rekomendasi pada klien,” ujar Tri Joko.

Mengutip rule of conduct CFP yang berlaku global, pada poin ke-12 tertulis: “Seorang profesional RFP dan CFP akan memberikan advis kepada nasabah hanya pada bidang di mana dia berkompeten. Bidang di mana mereka tidak kompeten, RFP dan CFP akan berkonsultasi dan atau mereferensikan nasabah ke profesional yang memiliki kualifikasi.”

Dengan kata lain, ketika seorang CFP terbukti merekomendasikan produk yang dia tidak cukup kompeten melakukan penilaian, ada pelanggaran rule of conduct di sana.

Idealnya, seorang CFP memberi rekomendasi produk yang punya risiko dan potensi return terukur, tidak bermasalah dari sisi legal, terdaftar di otoritas, sehingga pengawasannya jelas, dan punya rekam jejak bagus.

Komite etik juga akan menilai kompetensi para CFP terkait dalam melakukan risk profiling terhadap klien. Sisi lain yang juga akan dilihat adalah independensi. “Apa benar mereka tidak terima fee atas produk yang direkomendasikan? Tim pencari fakta tengah bekerja mengumpulkan data terkait hal tersebut,” ujar Tri Joko.

Tri Joko menuturkan, proses investigasi oleh Komite Etik FPSB tersebut bisa memakan waktu lama, antara satu hingga dua bulan. “Kami harus melakukan langkah ini karena jika tidak, akan merugikan profesional CFP yang lain,” jelas dia.

Kelak jika ternyata komite etik menemukan pelanggaran-pelanggaran oleh CFP di QM Financial, maka ada sanksi berat menghadang. Asal tahu saja, selama ini para CFP wajib melakukan resertifikasi setiap dua tahun sekali.

Ketika terjadi pelanggaran atas salah satu koridor yang telah diatur, FPSB berhak mencabut sertifikat CFP yang bersangkutan sebagai sanksi terberat. “Sampai duduk perkaranya jelas, gelar CFP bisa kami bekukan atau tunda perpanjangannya,” tegas Tri Joko.

Pencabutan atau penundaan sertifikat CFP di Indonesia, ujar Tri Joko, tidak akan memengaruhi praktik bisnis si perencana keuangan. “Mereka bisa tetap jalan karena di negara kita memang belum ada pengaturannya,” kata dia.

Ligwina Hananto, Chief Executive Officer QM Financial, menolak berkomentar ketika KONTAN meminta tanggapannya tentang langkah FPSB tersebut. “Tidak ada quote dari saya,” tandas Ligwina.

Risza Bambang, Dewan Sertifikasi dan Kode Etik IFPC di mana QM Financial tergabung, menuturkan, telah meminta klarifikasi dari QM tentang kasus yang membelitnya itu. Namun, IFPC memang tidak mengeluarkan sikap apa pun, termasuk sanksi, karena sifat IFPC hanya klub.

Yang pasti, kasus itu menjadi pelajaran berharga bagi para praktisi perencana keuangan di tanah air. “Harus ada pembenahan agar tidak sampai terjadi lagi kasus seperti ini,” kata Risza yang juga tergabung sebagai anggota Komite Etik FPSB.

Semoga harapan itu tidak menjadi pepesan kosong, ya!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ruisa Khoiriyah

Terbaru