Harus lebih kritis memilih asuransi penyakit kritis (1)

Rabu, 19 Oktober 2011 | 18:46 WIB   Reporter: Anastasia Lilin Y
Harus lebih kritis memilih asuransi penyakit kritis (1)

ILUSTRASI. Melakukan sedikit pijatan bisa jadi salah satu cara mengatasi sembelit pada bayi. (Tribun Jateng/Hermawan Handaka)


JAKARTA. Semua orang ingin sehat. Itu sebabnya, ketika sakit mendera, berbagai upaya dilakukan agar sembuh dan kembali sehat. Anda yang bisa menjaga kesehatan, bersyukurlah. Sebab, biaya pengobatan semakin mahal dan belum tentu terjangkau oleh semua orang. Alat medis yang canggih dan obat-obatan terbaru jadi pemicu pembengkakan pengeluaran. Sakit itu mahal, kata orang.

Jika Anda berkantong tebal atau mendapat tunjangan plafon kesehatan dari kantor yang cukup, biaya pengobatan tak memberatkan. Apalagi jika penyakit yang datang tak terlalu serius, seperti demam, diare, atau cidera ringan. Lain persoalan jika Anda menderita penyakit gawat yang membutuhkan perawatan lama atau operasi mahal. Uang kesehatan dari kantor tak cukup, sementara asuransi kesehatan biasa tidak mencakup penyakit jenis itu.

Bagi mereka yang tak ingin menghadapi kondisi seperti itu lah, perusahaan asuransi menawarkan produk asuransi penyakit kritis (critical illness asssurance). Beberapa perusahaan asuransi yang sedang gencar menawarkan produk asuransi penyakit kritis, antara lain PT Prudential Life Assurance, PT Panin Life, dan PT Allianz Life Indonesia.

Akhir Juli lalu, Prudential merilis produk bertajuk PRUearly Stage Crisis Cover. Produk ini ditujukan untuk pemegang polis Prulink, Prulink syariah, dan produk asuransi non-unitlink, yaitu Pruuniversal Life. Ada 79 risiko penyakit kritis yang ditanggung lewat asuransi tersebut, antara lain kanker, parkinson, alzheimer, serangan jantung, stroke, kebutaan, koma, hingga HIV.

Panin Life Indonesia juga meluncurkan asuransi penyakit kritis bertajuk Smart Crisis Cover. Produk ini memberikan pembayaran manfaat yang berjenjang, mulai dari stadium awal hingga stadium lanjut alias kritis. Penyakit kritis yang ditanggung asuransi ini ada 34 jenis, seperti kanker, jantung, stroke, kebutaan, dan ginjal.

Selain dua produk tersebut, banyak perusahaan asuransi yang menawarkan perlindungan terhadap penyakit kritis. Sebagian besar sebagai tambahan (rider) produk tersebut dengan produk asuransi kesehatan ataupun asuransi jiwa.

Allianz, ambil contoh, membalutkan produknya kepada pemegang polis asuransi My Education, My Future, serta My Protection. Asuransi kritis Allianz menanggung sekitar 49 jenis penyakit kritis. Asuransi Takaful Indonesia juga memiliki produk sejenis. Namanya Takaful Falah. Produk ini merupakan kombinasi asuransi jiwa dan kesehatan dengan nilai premi Rp 1 juta setahun. Setidaknya ada 40-an jenis penyakit kritis yang di tanggung oleh Takaful Falah.

Apa kategori kritis?

Sebelum kita membahas produk ini terlalu jauh, Aidil Akbar Madjid, perencana keuangan dari Akbar Financial Check Up, mengingatkan bahwa definisi penyakit kritis dalam asuransi adalah penyakit yang sudah dalam kondisi kritis. “Tak peduli berapa banyak penyakit yang bisa di-cover perusahaan asuransi,” ujarnya.

Pada pasien kanker, misalnya, rata-rata perusahaan asuransi hanya mau membayar klaim saat tertanggung sudah ada di stadium 4. Ini yang masuk definisi kritis.

Nah, Aidil menilai, selama ini perusahaan asuransi tidak menjelaskan secara detail kepada masyarakat mengenai kategori kritis dalam produk asuransi tersebut. Masyarakat menganggap klaim atas semua penyakit bakal dikabulkan perusahaan asuransi, apapun kondisi pasien (tertanggung). Padahal, kenyataannya tidak seperti itu.

Sudah begitu, premi yang harus dibayar oleh nasabah untuk asuransi jenis ini juga relatif lebih mahal ketimbang asuransi kesehatan biasa atau asuransi jiwa. Oleh karena itu, agar tak terjebak, Aidil mewanti-wanti agar calon nasabah lebih jeli membaca setiap klausul polis asuransi.

Sebelum memutuskan menjadi nasabah asuransi ini, sebaiknya Anda berkonsultasi dengan pihak yang berkompeten seperti perencana keuangan. Calon nasabah juga perlu meminta daftar dokumen yang harus dilengkapi dan dipersiapkan jika ingin mengklaim kepada perusahaan asuransi. Daftar dokumen ini mengacu pada klaim yang sudah pernah dicairkan pihak asuransi kepada nasabahnya terdahulu.

Calon nasabah juga harus memahami detail apa yang tertuang dalam isi polis. Memang, ini tidak mudah. Perusahaan asuransi tidak akan membeberkan isi jeroannya sebelum seseorang menyatakan bersedia menjadi nasabah. Menurut Aidil, ketika nasabah merasa tidak sepakat dengan isi polis, maka dia masih bisa membatalkan pengajuan polis dalam kurun 14 hari sejak pengajuannya diterima oleh perusahaan asuransi.

Nah, ada beberapa klausul yang berpotensi menjebak nasabah. Misalnya penggunaan istilah “pengecualian” dalam polis. Risza Bambang, perencana keuangan dari Shildt Financial Planner menjelaskan, biasanya pengecualian ini untuk penyakit yang timbul karena nasabah melakukan tindakan kriminal, infeksi HIV, atau penyakit yang sudah diderita nasabah sebelum menjadi peserta asuransi.

Risza juga menyarankan, sebaiknya calon nasabah menanyakan secara lebih mendetail setiap penyakit yang ditanggung atau tak ditanggung oleh asuransi. Contoh penyakit gagal ginjal, apakah penanganannya hingga proses transplantasi atau hanya cuci darah saja. Lalu, berapa kali cuci darah yang ditanggung. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini

Terbaru