Potensi return bukan ukuran tunggal berinvestasi

Jumat, 10 Oktober 2014 | 11:26 WIB   Reporter: Melati Amaya Dori, Andri Indradie
Potensi return bukan ukuran tunggal berinvestasi

ILUSTRASI. Erajaya Digital meresmikan 51 gerai baru yang terdiri dari 49 gerai Erafone, 1 iBox dan 2 Xiaomi Store.


Beda masa, beda pula instrumen investasi yang menjadi primadona. Selama bunga perbankan tinggi, cash is the king adalah prinsip para pemodal. Instrumen yang mudah dicairkan, seperti deposito perbankan, akan menjadi pilihan. Namun di masa bunga pinjaman sedang murah, properti yang akan menjadi idaman.

Nah, saat ini ada banyak instrumen investasi yang bisa dipilih. Di sektor riil, properti seperti rumah dan apartemen bisa menjadi pilihan. Hasil investasi di properti bisa berupa pertumbuhan harga ataupun pendapatan dari sewa.

Jenis instrumen investasi yang berupa produk perbankan  dan pasar finansial lebih banyak lagi. Deposito, yang merupakan produk bank, bisa disebut sebagai instrumen investasi yang klasik. Lalu, produk pasar finansial bisa dibagi lagi menjadi produk ekuitas dan produk pasar uang. Contoh yang pertama  seperti saham dan waran. Sedang obligasi termasuk kelompok kedua.

Ada pula reksadana, yang punya banyak wujud. Manajer investasi, penerbit reksadana, bisa memutarkan dana yang dikumpulkannya di satu instrumen saja atau lebih dari satu jenis produk.

Jika ingin tidak terjeblos saat berinvestasi, jangan bermodal cap-cip-cup kembang kuncup, saat memilih instrumen investasi. Kalau mengikuti tahapan berinvestasi yang aman, Anda harus memilih instrumen yang sesuai dengan tujuan investasi dan profil risiko pribadi. Jangka waktu investasi pun patut menjadi pertimbangan.

Lukas Setia Atmadja, pengajar investasi dan keuangan di Prasetiya Mulya, menambahkan, ada empat poin yang juga bisa menjadi pegangan saat menimbang pilihan instrumen investasi.

Pertama, melihat imbal hasil dari tiap instrumen. Faktor ini patut diperhatikan karena bagaimana pun faktor ini yang akan menentukan tujuan investasi kita tercapai atau tidak.  Biasanya, laju inflasi menjadi pembanding hasil investasi.

Maksudnya, imbal hasil sebuah instrumen baru dinilai layak dipertimbangkan apabila melampaui laju inflasi.
Seleksi kedua yang bisa Anda lakukan saat memilih instrumen investasi adalah melihat likuiditas dari masing-masing instrumen. Sangat mungkin ada lebih dari satu instrumen investasi yang menawarkan imbal hasil yang masuk dalam kategori incaran Anda. Dalam situasi semacam itu, pilihlah instrumen yang unggul dari segi likuiditas, alias yang paling mudah dicairkan menjadi uang.

Faktor likuiditas ini yang menjadikan saham atau reksadana saham unggul dibandingkan properti sebagai instrumen investasi di jangka menengah –panjang. Pertimbangan likuiditas ini menjadi sangat penting lagi, apabila kita berharap menikmati hasil investasi dalam waktu dekat.

Risiko instrumen investasi merupakan penyeleksi ketiga. Jangan lupa, investasi adalah koin yang punya dua sisi, yaitu imbal hasil dan risiko. Hubungan risk dan return itu, biasanya, berbanding lurus, alias high risk high return.

Jika ada instrumen yang menawarkan prospek return menggoda, cermati dulu risikonya. Jangan sampai dana yang Anda siapkan untuk sesuatu yang penting, malah hangus.

Saat ini, yang dikenal memberikan keuntungan tinggi masih saham. Namun investasi di saham juga berisiko. Bukan tidak mungkin, harga saham yang Anda beli terjun bebas, hingga Anda kehilangan modal.

Sedangkan, instrumen yang terkenal memiliki risiko rendah adalah deposito dan properti. Nah, jika ingin menikmati instrumen yang tak penuh gejolak harga itu, kita juga harus tahu diri untuk tidak mengharapkan imbal hasil yang mencorong.

Keempat, knowledge. Pepatah tak kenal maka tak sayang layak juga diingat ketika memilih instrumen investasi. Tidak perlu memaksakan diri untuk mengejar iming-iming return, apabila kita tak paham instrumen tersebut.

Jadi, apabila Anda tidak mengerti saham, ataupun emiten dari penerbit saham itu, ya tidak perlu memutar uang di situ. Jika Anda cuma merasa paham dan nyaman dengan emas ya deposito, ya pilihlah dua instrumen itu. Apabila bersikeras untuk "berbelanja" instrumen yang baru Anda kenal, maka Anda harus menginvestasikan waktu terlebih dahulu untuk mengenalnya. Paling tidak tahu bagaimana aturan hukumnya, prospek return, serta risiko yang menyertainya.

Apabila setelah menyaring berdasar profil risiko, tujuan investasi dan jangka waktu, serta empat penyaring di atas, ternyata pilihan tidak sedang nge-tren, Anda tidak perlu kecil hati. Kenyataannya? "Tidak ada instrumen investasi yang ideal untuk semua orang, di setiap situasi," tutur Roy Sembel, pengajar investasi di IPMI International Business School.

Tanpa menimbang kebutuhan unik setiap individu pun, instrumen investasi pastilah memiliki nilai plus dan minus sekaligus. Ambil contoh saham. Ini adalah instrumen investasi yang paling unggul dari sisi potensi return. Namun sangat mungkin saham bukan pilihan Anda karena instrumen ini rumit untuk dipelajari, membutuhkan modal yang besar dan waktu yang lama untuk menuainya.

Awas terjebak

Kriteria penyaring instrumen investasi yang disebut Lukas, bisa juga memperlihatkan kelebihan dan kekurangan masing-masing instrumen. Apabila potensi return yang menjadi ukuran, maka saham menjadi juara. Di tempat berikutnya, baru emas dan obligasi dan properti. Di tempat terbawah ada kelompok tabungan dan deposito.

Berdasar likuiditasnya, saham masih menempati posisi pertama. Lalu, emas dan obligasi di peringkat kedua. Sedangkan deposito dan properti menempati posisi buncit. Deposito di sini ditempatkan sebagai instrumen yang sulit dicairkan karena punya tanggal jatuh tempo. Memang, Anda bisa saja mencairkan pokoknya di luar tanggal jatuh tempo, jika ingin terkena penalti biaya.

Apabila risiko yang menjadi ukuran, maka deposito paling menarik. Demikian pula dengan properti, ataupun emas. Berbagai instrumen pasar modal, apalagi saham, menjadi instrumen paling tidak menarik karena risikonya tinggi.
Urut-urutan yang mirip akan kita dapatkan saat menggunakan knowledge sebagai ukuran. Deposito dan properti adalah instrumen yang paling mudah dipahami.

Berikutnya, emas. Setelah itu, baru obligasi. Saham merupakan instrumen investasi yang paling njlimet.
Satu hal lagi yang perlu dicermati dalam memilih instrumen investasi adalah harus mampu mendeteksi produk bodong.

Caranya?  "Tiap produk yang legal seharusnya punya izin dari regulator. Dan mereka yang menawarkan instrumen investasi yang sah juga memiliki sertifikat," ujar Roy.

Karena itu, jangan cuma asal memandang potensi return saja, product knowledge pun harus jadi pertimbangan saat memilih instrumen

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Edy Can

Terbaru