Mempersiapkan kuliah ke Inggris

Jumat, 05 Februari 2016 | 17:46 WIB   Reporter: Hendrika Yunapritta, Sri Sayekti
Mempersiapkan kuliah ke Inggris


Anda berencana meneruskan sekolah ke mana? Dari sederet negara tujuan, bisa jadi Inggris tidak banyak jadi pilihan. Mengapa? Barangkali banyak orang yang jeri duluan mau sekolah di Inggris, yang terkesan sebagai negara monarki yang tradisional.

Nah, lima tahun belakangan, anggapan itu ternyata sirna. Setyadhi Hendra, Operations Manager Indonesia-Britain Education Centre (IBEC) mengatakan bahwa saban tahun sekitar 1.500 pelajar dan mahasiswa dari Indonesia, berangkat ke Inggris Raya untuk belajar. Angka ini diperoleh dari jumlah visa pelajar yang dikeluarkan Kedutaan Besar Inggris plus pemegang paspor Indonesia dari negara lain. “Kalau sebelum 2010, barangkali angkanya masih sekitar 600–800 orang saja,” tutur Hendra.

Inggris sedang naik daun jadi tujuan belajar, ternyata karena waktu studi yang singkat dan biaya terjangkau. Waktu studi, menurut Hendra, adalah 3 tahun untuk S1, satu tahun untuk S2, dan tiga tahun untuk S3. “Kalau doktoral, itu lebih ke riset, jadi walaupun jangka waktunya lebih lama, biayanya justru murah,” kata Hendra.

Dalam pengalaman IBEC, sebagai konsultan pendidikan yang ditunjuk menggantikan peran British Council di Indonesia sejak 1998, biaya sekolah untuk S1 dan S2 di Inggris sekitar £15.000 setahun dan biaya hidup £11.000, termasuk asuransi. “Jadi, dengan kurs sekarang, sekitar Rp 500 juta per tahun,” terang Hendra. Adapun biaya S3 berkisar £7.000–£10.000.

Sebagai persiapan, Anda juga tidak harus punya rekening atau saldo mengendap miliaran rupiah. “Asal ada cukup dana untuk biaya sekolah dan hidup setahun saja,” jelas Hendra. 

Biaya sekolah di Inggris, di kota manapun, menurut Hendra, tidak beda jauh. Pasalnya, semua universitas di Inggris adalah universitas negeri yang disubsidi oleh negara. “Hanya satu universitas swasta, namanya University of Buckingham,” katanya. Biaya sekolah di universitas swasta inipun tak beda jauh, karena harus berkompetisi dengan kampus negeri.

Nah, beda besaran biaya biasanya pada biaya hidup. Namun, dalam pengalaman IBEC, dana £11.000 sudah cukup untuk hidup wajar di kota manapun di Inggris. “Ini patokannya hidup normal untuk tempat tinggal, makan, transport, laundry, dan buku, ya!” terang Hendra. Normal dalam artian wajar, alias tidak mewah tapi juga tidak hidup susah di rantau.

Memang, biaya tempat tinggal akan berbeda di beberapa tempat. Misalnya, biaya tempat tinggal di London jelas lebih mahal. “Tapi enggak beda jauh juga,” sambung Hendra.

Layaknya persiapan masuk universitas, kampus di Inggris juga menetapkan kriteria tertentu untuk calon mahasiswa. Misalnya saja, IPK minimal 3,2 dan IELTS 6–6,5. Kecuali jurusan Hukum yang menetapkan poin IELTS 7.

Kalau pun IPK tidak terpenuhi, sebagai konsultan, IBEC akan membantu calon mahasiswa membuat personal statement mengenai dirinya. “Kami memang ditugaskan mendampingi, dari persiapan, pendaftaran, hingga siswa yang bersangkutan kuliah di sana,” tuturnya. Semua proses tersebut dilakukan tanpa dipungut biaya. Saat ini, IBEC mewakili hampir semua universitas negeri di Inggris Raya.

Jika syarat terpenuhi dan pihak universitas menerima, maka calon mahasiswa bisa langsung berangkat dan kuliah. Tahun ajaran dimulai bulan September. Mereka tidak perlu lagi ikut tes ini itu ataupun kelas adaptasi. “Begitu sampai, ya langsung kuliah,” kata Hendra.

 Banyak jurusan yang diminati pelajar dari Indonesia di negeri Ratu Elisabeth ini. Lima tahun belakangan, Hendra mencatat, jurusan yang paling diminati adalah sosial politik seperti public policy, desain, engineering, serta ekonomi.

Namun, kota yang paling banyak dituju siswa dari Indonesia adalah Birmingham, dan kampusnya, University of Birmingham. Selain itu, ada pula Chester University yang berjarak sekitar 50 km dari Liverpool bisa menjadi pilihan. “Kalau yang suka sepakbola, enak kuliah di Inggris, banyak klub favorit,” ujar Yunius.Caesar, Business Development Manager EduPlan Indonesia.

Kendala bahasa

Selain belajar, siswa di Inggris boleh bekerja, maksimal selama 20 jam seminggu. Banyak lowongan kerja paruh waktu, dari asisten periset di kampus sampai cuci piring dan bersih-bersih di restoran.

Meski nampaknya mudah dijalani, ternyata ada beberapa kendala yang lazim dijumpai Hendra dari pelajar Indonesia di sana. Kendala pertama adalah bahasa. Kebanyakan pelajar Indonesia butuh waktu untuk bisa berkomunikasi dengan baik di sana. “Walaupun poin IELTS tinggi, ternyata bukan jaminan siswa yang bersangkutan lancar berkomunikasi,” ujarnya. Selain itu, ada beda budaya antara di Indonesia dan Inggris. Di Inggris, kebanyakan orang bersikap sopan dan saling menyapa walau tidak kenal, hal yang sangat jarang dijumpai di kota besar seperti Jakarta.

Nah, hambatan lain adalah kebiasaan belajar yang berbeda. Siswa di Indonesia terbiasa disuguhi materi, ketika di sana, mereka harus berpartisipasi aktif serta berinisiatif mencari informasi sendiri. Mengubah kebiasaan ini, ternyata sulit.

Tentu, ada pula yang tidak kesulitan beradaptasi seperti Mochamad Putra Widjajanto atau biasa dipanggil Ciput saat kuliah di New Castle, mengambil master bidang sains.

Selain masa studi yang singkat, menurut Ciput fasilitas kampus sangat memadai. Tersedia langganan jurnal ilmiah yang dilengkapi dengan mesin pencari, sehingga memudahkan mencari penelitian dari berbagai negara yang telah dipublikasikan. Ada student computer room yang bisa dipakai bermodal kartu mahasiswa untuk mencetak dan fotocopy.

Adapun Wido Prananing Tyas, atau biasa dipanggil Dona, mengambil S3 di New Castle University pada program studi Planning and Lanscape. Menurut Dona ujian doktoral di Inggris justru terasa lebih mudah ketimbang di Indonesia. “Di sana tidak ada sistem terbuka atau tertutup seperti di Indonesia,” ujarnya. Profesor pembimbing sudah seperti rekan yang cukup dipanggil nama. “Lebih terbuka, lalu saling memberi masukan serta tidak dilepas begitu saja,” imbuh Dona.

Soal makan juga mudah, karena menurut Ciput, banyak pilihan. ”Ada masakan China, India, Malaysia,” kata dia.

Anda tertarik?                    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: A.Herry Prasetyo

Terbaru