Hitunglah dengan cermat agar ahli waris terjamin!

Senin, 05 Maret 2012 | 10:18 WIB   Reporter: Anastasia Lilin Y
Hitunglah dengan cermat agar ahli waris terjamin!

ILUSTRASI. Warga Rumah Susun Pejompongan Jakarta mengisi token listrik, Senin (25/1). /pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/25/01/2016


JAKARTA. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Demikian pepatah lama yang berarti segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita itu tidak pasti dan menjadi rahasia Sang Pencipta.

Ketidakpastian juga sangat mungkin terjadi dalam kondisi finansial sebuah keluarga. Siapa yang bisa menjamin sebuah keluarga yang berkecukupan akan selamanya berkecukupan? Bagaimana jika tulang punggung keluarga tiba-tiba berpulang, sementara dia memiliki tanggungan yang banyak?

Demi menjaga keberlangsungan orang yang ditinggalkan tersebut, penting sekali memproteksi tujuan finansial dengan asuransi jiwa murni. Asuransi jiwa murni berarti asuransi ini hanya untuk memenuhi kebutuhan proteksi atau tanpa skema investasi. Namun, apakah setiap orang perlu memiliki asuransi ini? Belum tentu.

Perencana keuangan dari MoneynLove Financial Planning & Consulting Pandji Harsanto menjelaskan, mereka yang sudah mempunyai penghasilan dan memiliki tanggungan, seperti anak dan pasangan yang tidak bekerja, cocok memiliki produk asuransi jiwa. Namun, Anda yang sudah mempunyai penghasilan tetapi masih lajang dan tak ada pihak yang menggantungkan hidupnya pada Anda tidak perlu membeli produk ini.

Perencana keuangan dari PT Quantum Magna Mohammad B. Teguh menambahkan, satu pengecualian lagi, yakni mereka yang mempunyai aset lancar memadai. Maksudnya begini, jika kebetulan Anda memiliki aset lancar atau pendapatan sampingan (passive income) yang jumlahnya melebihi kebutuhan asuransi jiwa dan kebutuhan rutinnya (cash flow), Teguh juga tak menyarankan Anda membeli asuransi jiwa. “Karena meskipun dia meninggal, keluarga yang ditinggalkannya tidak akan terlantar,” ujarnya.

Jika pasangan suami-istri bekerja, perlukah keduanya memiliki asuransi jiwa? Menurut Pandji, jawabannya bergantung pada fungsi penghasilan keduanya. Taruh kata, penghasilan istri hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi alias tidak untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Pandji tak menyarankan istri membeli asuransi jiwa.

Sebaliknya, jika pendapatan istri ternyata sangat berperan besar dalam mencukupi kebutuhan keluarga, sebaiknya, istri juga membuat asuransi jiwa. Pandji menyarankan, sebaiknya jangan menggunakan anak sebagai ahli waris meski dana diperuntukkan baginya. “Sebaiknya pakai wali waris agar lebih mudah mengeksekusi manfaat asuransi dan menghindari kesulitan melikuidasi uang pertanggungan (UP),” kata Pandji.

Pada dasarnya, fungsi asuransi jiwa adalah sebagai antisipasi untuk menggantikan pendapatan orang yang meninggal. Tujuannya agar orang yang hidupnya bergantung pada orang yang kemudian meninggal tersebut masih bisa bertahan dari sisi finansial.

Agar Anda tak merasa terbebani dengan premi yang dibayarkan, perencana keuangan dari Fahima Advisory Fauziah Arsiyanti menekankan agar cicilan premi tak mengganggu cash flow dan tabungan wajib untuk dana pendidikan. Pasalnya, banyak nasabah asuransi berhenti di tengah jalan karena terbebani premi.

Para perencana keuangan menyarankan, Anda mengalokasikan maksimal 10% dari penghasilan untuk membeli asuransi. Pandji menyebut asuransi jiwa dan kesehatan sebagai prioritas utama dari sekian jenis asuransi.

Mengenal aneka metode penghitungan

Namun, jangan asal membeli produk asuransi. Masih ada pekerjaan yang harus Anda lakukan sebelum memilih produk asuransi jiwa, yakni menghitung uang pertanggungan (UP) yang ingin Anda “wariskan” untuk ahli waris Anda.

Ada beragam metode penghitungan uang pertanggungan. Masing-masing metode akan menghasilkan angka yang berbeda pula. Para perencana keuangan menekankan, pemilihan metode harus disesuaikan dengan tujuan finansial serta kemampuan. Sebab, besaran UP bakal mempengaruhi nilai premi yang mesti Anda bayarkan dalam kurun waktu tertentu.

Tentu, penentu besaran premi bukan hanya UP. Ada faktor lain yang berperan, seperti profil pemegang polis dan underwriting perusahaan asuransi. Underwriting adalah proses perusahaan asuransi jiwa memutuskan apakah akan menerbitkan polis yang diminta calon nasabah atau tidak. Dalam hal ini, perusahaan asuransi juga akan memutuskan syarat dan kondisi apa yang diberlakukan serta berapa besar tingkat premi yang dikenakan.

Berikut ini beberapa ulasan metode penghitungan UP yang mungkin bisa Anda pertimbangkan.

Income replacement based

Income Replacement Based (IRB) adalah metode yang bisa digunakan untuk menghitung berapa pendapatan seseorang hingga pensiun. Misal, pendapatan A sebulan Rp 10 juta. Usia A saat ini 35 tahun dan ingin pensiun di usia 55. Jadi, masa produktifnya 20 tahun lagi. Dengan metode ini, cara menghitung UP A adalah Rp 10 juta x 12 (bulan) x 20 (tahun). Hasilnya Rp 2,4 miliar.

Jika A meninggal dan nilai konsumsi keluarga setiap bulannya sebesar Rp 10 juta, uang pertanggungan baru akan habis 20 tahun kemudian. “Metode ini biasanya cocok untuk orang yang pensiunnya tidak lama lagi,” kata Teguh.

Human life value based

Human Life Value Based (HLVB) menghitung pendapatan seseorang sampai pensiun tapi dengan memperhitungkan hasil investasi instrumen yang memiliki risiko minim (risk free rate). Ketika A meninggal, UP itu oleh keluarganya ditempatkan di instrumen risk free, seperti deposito, obligasi ritel Indonesia (ORI), dan Sukuk Ritel. Jadi selain menerima UP, ahli waris juga akan menerima hasil investasi (return).

Metode ini menghitung nilai sekarang (present value) pendapatan plus risk free rate. Dengan asumsi yang sama, cara menghitungnya: Rp 10 juta x 12 (bulan) x (100% + 5,2%) x 20 (tahun) : 105,2% pangkat 20 - 1. Hasilnya, UP dibutuhkan kurang lebih Rp 1,437 miliar.

Income value based

Metode Income Value Based (IVB) digunakan untuk mencari tahu berapa besar nilai yang apabila ditempatkan di deposito atau dibelikan obligasi ritel akan menghasilkan return setiap bulan sebesar pendapatan tertanggung. Cara menghitungnya, pendapatan dalam setahun dibagi dengan risk free rate.

Masih dengan asumsi yang sama seperti sebelumnya maka cara perhitungnya adalah: Rp 10 juta x 12 (bulan) : risk free rate 5,2%. Hasil perhitungan simulasi tersebut adalah besaran UP sekitar Rp 2,3 miliar. Teguh merekomendasikan metode ini jika risk free rate tinggi. “Atau jika kemampuan keluarga yang ditinggalkan kelak cukup memadai untuk mengelola UP dengan melakukan investasi yang baik,” urianya.

Survival value based

Metode Survival Value Based (SVB) adalah menghitung pendapatan selama masa produktif sampai usia pensiun lalu ditambah dengan utang-utang yang dimiliki dan kebutuhan dana darurat keluarganya. Cara menghitungnya bisa menggunakan IRB, HLVB, atau IVB + utang-utang + kebutuhan dana darurat.

Teguh bilang, metode ini cocok untuk keluarga yang memiliki utang besar dan utangnya tersebut tidak dilindungi asuransi jiwa kredit.

Family needs based

Metode Family Needs Based (FNB) adalah metode yang sangat lengkap. Sebab, metode ini menghitung kebutuhan-kebutuhan keluarga setelah tertanggung meninggal. Jadi menghitungnya bukan dari pendapatan tapi dari berapa besar kebutuhan keluarga yang ditinggalkan? “Alasannya, pengeluaran pribadi tertanggung, kan, sudah tidak ada lagi,” beber Teguh.

Cara menghitungnya dengan menjumlahkan pengeluaran keluarga yang ditinggalkan, dihitung dengan nilai sekarang (present value) lalu ditambah kebutuhan dana darurat, dana pendidikan anak-anak, utang, dan kebutuhan lainnya jika memang ada. Hasilnya kemudian dikurangi aset lancar yang dimilik saat ini.

Menurut Teguh metode ini cocok jika seseorang ingin memastikan dengan persis kebutuhan keluarga sepeninggal si tulang punggung tersebut. Namun, metode ini membutuhkan perhitungan lebih teliti dan telaten tentunya.

Setelah tahu cara menghitung UP, kini, saatnya Anda membandingkan produk asuransi yang menawarkan premi paling mini dengan UP yang sama. Selamat melakukan survei.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini

Terbaru