Agar tak semakin merana ketika pasangan berpulang (1)

Kamis, 29 September 2011 | 12:40 WIB   Reporter: Syamsul Ashar, Anastasia Lilin Y
Agar tak semakin merana ketika pasangan berpulang (1)

ILUSTRASI. Seorang perawat memperlihatkan sebuah kotak vaksin Rusia 'Sputnik-V' untuk penyakit virus korona (COVID-19) yang disiapkan untuk suntikan dalam tahap uji coba pasca-pendaftaran di sebuah klinik di Moskow, Rusia, Kamis (17/9/2020). REUTERS/Tatyana Makeyeva


JAKARTA. Sudah jatuh tertimpa tangga. Pepatah ini terasa pas menggambarkan nasib yang menimpa Suparsih, warga Karanganyar, Jawa Tengah. Setelah sang suami meninggal, perempuan berusia 54 tahun ini terpaksa menanggung sendiri beban utang kredit dari sebuah bank yang dicairkan sang suami, Puyanto.

Bank mewajibkan Suparsih melanjutkan cicilan utang almarhum suami yang masih tersisa Rp 40 juta, dari total kredit yang mereka terima di 2004 sebesar Rp 70 juta. Perempuan yang bekerja sebagai karyawan di salah satu sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) di Karanganyar ini tetap harus membayar angsuran kredit Rp 1,2 juta per bulan hingga 2014. "Saya merasa terbebani kalau harus membayar sendirian," ungkapnya getir.

Padahal, menurut pemikiran Suparsih, bank seharusnya sudah memutihkan utang almarhum. Sebab, ketika hendak mencairkan kredit sang suami telah membayar premi asuransi. Dia pun mengutip sebuah pasal dalam perjanjian kredit yang disepakati suaminya. Pasal itu mewajibkan mengasuransikan jiwa minimum 100% dari jumlah kredit yang diterima debitur. Nyatanya, Suparsih hanya menerima santunan asuransi sebesar Rp 18 juta. Jumlah ini jauh lebih kecil dari sisa pinjaman.

Lepas dari keprihatinan yang menimpa Suparsih, mungkin banyak nasabah yang tertimpa nasib nahas seperti ini. Mereka tidak menduga bakal menanggung konsekuensi yang berat ketika menjadi nasabah kredit (debitur) bank. Tidak semua yang kita pahami saat awal mencairkan kredit selalu berjalan sesuai harapan.

Selain kemungkinan telah terjadi salah paham maupun bank memang beritikad buruk, acapkali konsekuensi tak terduga seperti ini berawal dari calon debitur yang kurang teliti ketika mengajukan kredit. Mereka berusaha sebisa mungkin memenuhi syarat agar kredit segera bisa cair.

Salah satu kelaziman yang ditempuh seorang calon nasabah debitur ketika penghasilannya tak memenuhi ambang batas minimal bank adalah menggabungkan pendapatan dengan pasangan, suami atau istri (joint income). Dengan menggabungkan dua sumber nafkah keluarga, otomatis nilai pendapatan debitur jadi lebih besar.

Sekadar ilustrasi, ketika istri berpenghasilan Rp 3 juta dan suami berpenghasilan Rp 6 juta, maka bank akan menghitung penghasilan bulanan calon pengutang senilai Rp 9 juta. Itu berarti, maksimum angsuran yang harus dibayar oleh debitur 30% dari total penghasilan atau sebesar Rp 2,7 juta. Ini berarti pula nilai kredit yang disetujui bisa lebih besar.

Mengukur risiko

Lantaran hanya memikirkan nilai kredit yang diperoleh bakal lebih besar, calon nasabah sering alpa mencermati tingkat risiko kredit konsumtif semacam ini. Terutama, risiko yang menyebabkan para nasabah meninggal dunia, cacat, atau peristiwa lain yang menyebabkan mereka tidak mampu lagi membayar cicilan utang.

Dari sisi lain, bank tentu tidak mau rugi. Karena itu, selain menarik uang provisi, bank mewajibkan debitur untuk mendapatkan perlindungan dari perusahaan asuransi. Bahkan, aset yang menjadi jaminan kredit juga mendapat perlindungan asuransi kerugian. Oleh sebab itu, biasanya nasabah wajib membayar asuransi kebakaran sebagai syarat permohonan kredit pemilikan rumah (KPR). Demikian pula ketika calon nasabah mengajukan kredit pembelian kendaraan, biasanya mereka harus membayar minimal asuransi kehilangan dan asuransi all risk.

Sementara, bagi si debitur, biasanya bank mewajibkan jaminan asuransi jiwa. Jadi, ketika debitur berhalangan tetap dan menyebabkannya tidak mampu membayar utang, bank tidak akan merugi karena kewajiban debitur ditutupi asuransi.

Perencana keuangan dari Shildt Financial Planner Risza Bambang menjelaskan, biasanya ada dua jenis skema asuransi pada kredit joint income. Pertama adalah tipe first to die. Asuransi jiwa tipe ini adalah membayarkan uang pertanggungan sebesar 100% jika salah satu debitur, dalam hal ini tak terbatas apakah suami atau istri, meninggal dunia.

Tipe kedua adalah kebalikannya, yaitu the last survivor. Asuransi seperti ini baru mau membayarkan klaim jika kedua debitur meninggal dunia. "Meskipun ada dua pilihan, dalam skema joint income, bank seharusnya tidak boleh memberikan pilihan. Mereka wajib melekatkannya dengan first to die," kata Risza. Pasalnya, sejak awal bank menyetujui kredit harus mengacu pada kemampuan finansial dua orang. Jadi ketika salah seorang meninggal, maka dilihat dari perhitungan syarat kemampuan membayar utang jelas tidak ada lagi.

Memang, konsekuensi dari pemilihan asuransi first to die adalah debitur harus membayar premi lebih mahal ketimbang the last survivor.

Nah, untuk kasus Suparsih, Risza menduga asuransi yang dipakai bertipe the last survivor. Bisa jadi bank tidak memberikan informasi yang jelas pada awal sehingga nasabah tidak tahu atau nasabahnya sendiri yang meminta agar premi asuransinya lebih murah sehinga diberi yang the last survivor.

Di sisi lain, perbankan terkenal kian royal meloloskan pengajuan kredit para nasabahnya, terutama kredit konsumsi seperti KPR, KPM dan kredit multiguna. Maklum, jenis kredit ini merupakan mesin pencetak uang paling cepat bagi bank.

Alhasil, bank pasti berupaya agar pengajuan kredit memenuhi syarat dan calon debitur tidak pindah ke bank lain. Termasuk jika ada debitur yang meminta tidak memakai asuransi demi memperoleh cicilan lebih murah. "Ada dekadensi moral ethic business dalam dunia financial services," ujar Risza setengah menuding.

Sementara perencana keuangan MRE Financial & Business Advisory Mike Rini menyebut, produk asuransi jiwa yang biasa dilekatkan secara langsung adalah KPR dan Kredit Pemilikan Mobil (KPM). Berdasarkan skema joint income untuk dua kredit tersebut yakni KPR dan KPM, jika salah satu pasangan meninggal maka sisa utang kredit akan dilunasi 100%. "Sementara untuk kredit lain seperti multiguna, setahu saya sejauh ini memang tidak ada asuransinya," ujar Mike.

Jadi, dia menyarankan, debitur harus membeli asuransi sendiri untuk menjamin keberlangsungan kredit multiguna. Dengan demikian, apabila kelak sesuatu yang tidak dinginkan terjadi, mereka terbebas dari risiko gagal bayar. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini

Terbaru